Polemik Sertifikasi Halal ala Kapitalisme




Oleh : Manta
Aktivis Mahasiswa 



Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Hasil investigasi MUI memvalidasi laporan masyarakat bahwa produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare. Proses ini dilakukan tanpa audit Lembaga Pemeriksa Halal dan tanpa penetapan kehalalan dari Komisi Fatwa MUI. Temuan ini semakin memprihatinkan karena bukti-bukti produk tersebut terpampang jelas di situs BPJPH dan diarsipkan oleh pelapor. Proses yang tidak melalui Mekanisme dan strategi yang jelas ini merupakan ciri dari negara berlandaskan Aqidah sekulerisme kapitalisme.

Persoalan hukum halal dan haram merupakan prinsip yang dipegang dalam islam. Tidak boleh dianggap sepele, bahkan ketika terdapat permasalahan tersebut di Masyarakat, maka kita harus menganggap sebagai hal krusial, dikarenakan hasilnya akan berdampak terhadap penerapan di Masyarakat, terutama dalam hal produk makanan. Menganggap sederhananya hukum halal dan haram ini, terbilang lumrah jika kita mengkaitkannya dengan sistem sekulerisme, yaitu memisahkan antara agama dengan kehidupan. Negara abai terhadap penjagaan Aqidah Masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan bukan hanya persoalan penamaan di beberapa produk, tapi produk dengan zat yang haram juga masih beredar di pasaran. Negara hanya mencukupkan penyediaan sertifikasi halal berbayar yang diserahkan kepada produsen. Sertifikasi halal tersebut didapatkan jika yang dibayarkan sesuai dengan klasifikasi. Dalam mengkonsumsinya pun, setiap individu dibebaskan berdasarkan prinsip masing-masing. Tidak ada aturan tegas dalam melarangnya. Sertifikasi halal ini dijadikan ladang bisnis,faktor ekonomi, dan materialistik karena banyaknya permintaan. Sertifikasi halal ini bahkan telah pindah alih yang awalnya dikendalikan oleh MUI, saat ini berakhir dikendalikan oleh pemerintah. Hal ini menyatakan bahwa Persoalan utama adalah adanya negara yang berparadigma sekuerisme sehingga melahirkan kebijakan yang merugikan ummat islam.

Berbeda halnya dengan Negara yang berlandaskan islam, yang akan menyandarkan aturannya pada Al-quran dan As-sunnah. Hal ini dibuktikan dengan sadarnya peran negara dalam menjaga dan melindungi ummat, salah satunya yaitu memastikan Masyarakat agar terhindar dari sesuatu hal yang haram termasuk benda yang dikonsumsinya. Halal dan haram suatu zat disandarkan pada dalil-dalil syariat, bukan akal dan hawa nafsu manusia belaka, bahkan sampai melegalkan aturan pribadi yang melanggar prinsip dan akidah islam. Negara berlandaskan syariat islam, akan menjamin produksi dan distribusi seluruh produk dalam kondisi halal, baik dari segi nama maupun zat yang terkandung didalamnya. Layanan tersebut adalah tanggung jawab negara bukan produsen. Bahkan, negara meyediakan layanan tersebut dengan gratis. Negara akan menugaskan para qadhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan terhadap produksi maupun distribusi produk setiap hari ke pusat perbelanjaan, pabrik, maupun tempat pemotongan hewan. Jika terjadi peredaran barang haram dipasaran, maka negara akan memberlakukan sanksi ta’zir. Untuk kafir dzimmi, mereka dibebaskan untuk mengkonsumsi produk haram tersebut namun hanya diperjual belikan diantara mereka. Ummat islam akan dijamin keterikatannya degan syariat islam oleh negara, hidup dengan aturan islam, aturan yang dibuat oleh Sang Maha Pencipta, bukan sekedar modal akal dan nafsu manusia yang serba terbatas.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah baik, tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu’min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman : “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Dan firmanNya yang lain : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”. Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit : “Ya Rabbi ! Ya Rabbi! Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram,dan dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima do’anya” [Hadits Riwayat Muslim no. 1015]

Refrensi :
https://www.beritasatu.com/network/wartabanjar/318635/heboh-minuman-keras-mendapat-label-halal
https://almanhaj.or.id/2062-makanan-haram.html

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak