Oleh: Ummu Ayla
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)
Rencana reformulasi mandatory spending alias tafsir ulang anggaran pendidikan dalam APBN yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR dinilai tidak tepat oleh sejumlah ekonom. Seperti diketahui, selama ini anggaran pendidikan dipatok dari belanja negara, akan tetapi patokan ini hendak disesuaikan dalam wacana terbaru.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai kebijakan mandatory spending ini penting untuk jangka panjang dan seharusnya tidak diubah.
"Jika sudah ditetapkan 20% [dari belanja] untuk pendidikan, itu tidak boleh diutak-atik. Wacana untuk merombaknya menurut saya tidak tepat," ujar Bhima dalam pernyataannya kepada Bisnis, Kamis (5/9/2024).
Pemerintah makin lepas tangan dalam membiayai pendidikan warganya. Ini terlihat dari kecilnya anggaran pendidikan yang hanya 20% dari APBN. Dana itu masih harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan, salah satunya adalah Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud.
Inilah kebijakan zalim yang merampas hak banyak rakyat Indonesia untuk bisa sekolah. Kebijakan ini juga akan mengancam kualitas SDM rakyat dan sulit bersaing di dunia internasional. Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2021, hanya ada 8,31 % penduduk Indonesia dengan pendidikan di level S1 hingga S3. Menurut Pemerintah di Vietnam dan Malaysia, rasio lulusan S2 dan S3 terhadap penduduk produktifnya lima kali lipat dari Indonesia.
Di Tanah Air, berdasarkan tingkat pendidikannya, penduduk bekerja didominasi oleh lulusan SD ke bawah. Jumlahnya mencapai 51,49 juta orang atau menyumbang 36,82% dari total penduduk bekerja di Tanah Air. Cita-cita menuju Indonesia emas sepertinya jadi bikin cemas. (kaffah, 25/5/24).
Kewajiban dan Kebutuhan
Islam adalah satu-satunya sistem kehidupan yang begitu kuat mendorong umatnya untuk meraih ilmu. Frasa Ulul albab, yakni orang-orang yang mengerahkan akalnya untuk berpikir cemerlang sehingga tertuntun pada keimanan, diulang sampai 16 kali di dalam Kitabullah. Allah Swt. juga memuji orang-orang berilmu melalui firmannya:
“Allah meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha Tahu atas apa yang kalian kerjakan.” (TQS Al-Mujadilah [58]: 11).
Kewajiban meraih ilmu di antaranya ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw:
“Meraih ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).
Dengan begitu, pendidikan dalam Islam bukan pilihan, apalagi kebutuhan tersier, tetapi pokok bahkan fardu. Islam menetapkan dua tujuan pendidikan. Pertama, mendidik setiap muslim supaya menguasai ilmu-ilmu agama yang memang wajib untuk dirinya (fardu ain), seperti ilmu akidah, fikih ibadah, dsb..
Kedua, mencetak pakar dalam bidang tsaqâfah/ilmu-ilmu agama yang dibutuhkan umat, seperti ahli fikih, ahli tafsir, ahli hadis, dsb.. Dalam hal ini hukumnya fardu kifayah. Jika jumlah ulama dalam bidang ini telah mencukupi kebutuhan umat secara keseluruhan, maka gugurlah kewajiban tersebut.
Dasarnya adalah firman Allah:
“Tidak sepatutnya bagi kaum Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali, supaya mereka itu dapat menjaga diri mereka.” (TQS At-Taubah [9]: 122).
Termasuk dalam fardu kifayah ini adalah mencetak pakar sains dan teknologi yang dibutuhkan umat. Para ulama bersepakat akan hukum ini, di antaranya dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn.
Keberadaan ahli di bidang kedokteran, farmasi, kimia, nuklir, dsb. vital bagi umat. Jika jumlahnya belum mencukupi, maka berdosalah kaum muslim secara keseluruhan. Dalil bahwa kaum muslim membutuhkan pakar di bidang sains dan teknologi adalah kebijakan Nabi saw. yang pernah mengutus Urwah bin Mas’ud dan Ghilan bin Salamah ra. untuk mempelajari cara membuat dababah (sejenis alat perang zaman dulu) dan manjanik (pelontar batu besar).
Dengan demikian, pendidikan dalam Islam merupakan kewajiban sekaligus kebutuhan bagi umat. Pendidikan telah diwajibkan oleh syariat, juga kebutuhan vital untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan kaum muslim, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam bukanlah kebutuhan tersier atau kepentingan orang-orang kaya saja.
Pembiayaan Pendidikan
Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai salah satu sumber utama pembiayaan pendidikan. Di sejumlah negara kapitalis, pendidikan bisa gratis hingga perguruan tinggi karena pemerintah memungut pajak yang tinggi dari rakyat. Namun, ada juga yang tidak sepenuhnya gratis sehingga rakyat harus membayar mahal untuk bisa masuk perguruan tinggi. Bahkan di Amerika Serikat banyak mahasiswa terjerat utang karena pinjaman dari bank (student loan) untuk biaya kuliah. Majalah ekonomi Forbes, pada 2019, melaporkan ada 44 juta mahasiswa perguruan tinggi terjerat utang dengan total nilainya 1,5 triliun dolar.
Di dalam Islam, negara tidak boleh membebani rakyat dengan pajak, termasuk untuk membiayai pendidikan warganya. Pasalnya, Islam sudah menetapkan sumber pembiayaan pendidikan sesuai dengan hukum syariat. Sumber ini bisa berasal dari sejumlah pihak. Pertama, warga secara mandiri. Artinya, individu rakyat membiayai dirinya untuk bisa mendapatkan pendidikan. Harta yang dikeluarkan untuk meraih ilmu akan menjadi pahala besar. Nabi saw.bersabda:
“Siapa saja yang menempuh jalan untuk meraih ilmu, maka Allah memudahkan bagi dirinya jalan menuju surga.” (HR Ahmad).
Kedua, infak atau donasi serta wakaf dari umat untuk keperluan pendidikan, baik sarana dan prasarana maupun biaya hidup para guru dan para pelajar. Islam mendorong sesama muslim untuk menolong mereka yang membutuhkan. Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa saja yang melepaskan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan melepaskan dari dirinya satu kesusahan pada hari kiamat. Siapa saja yang memudahkan urusan orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim).
Ketiga, pembiayaan dari negara. Bagian inilah yang terbesar. Syariat Islam mewajibkan negara untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan; pembangunan infrastruktur, menggaji pegawai dan tenaga pengajar, termasuk asrama dan kebutuhan hidup para pelajar. Nabi saw. bersabda:
“Imam/khalifah itu pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, syariat Islam menetapkan bahwa negara memiliki sejumlah pemasukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Di antaranya dari pendapatan kepemilikan umum, seperti tambang minerba dan migas. Negara dalam Islam juga masih mendapat pemasukan dari kharaj, jizyah, infak dan sedekah, dsb.. Seluruhnya bisa dialokasikan oleh khalifah untuk kemaslahatan umat, termasuk membiayai pendidikan.
Kaum muslim seharusnya memperhatikan sejarah yang telah memperlihatkan kejayaan pendidikan Islam dari berbagai aspeknya, khususnya sepanjang era Kekhalifahan Islam. Islam bukan saja menghasilkan para ulama dalam ilmu agama, tetapi juga para ilmuwan yang karyanya dikagumi dan menginspirasi dunia barat hingga sekarang. Dunia Islam pada masa Kekhalifahan Islam juga sarat—bukan saja dengan lembaga-lembaga pendidikan—, tetapi perpustakaan umum yang penuh dengan karya para ulama dan ilmuwan. Sebagai contoh saja, perpustakaan Darul Hikam di Kairo berisi 2 juta judul buku, sedangkan Perpustakaan Gereja Canterbury (terbilang paling lengkap pada abad ke-14) hanya memiliki 1,8 ribu judul buku.
Kejayaan ini terwujud karena umat dan negara setia menjalankan syariat Islam, termasuk menyelenggarakan pendidikan sebagai pelayanan untuk umat seluas-luasnya hingga jenjang yang tinggi. Negara Islam akan menjadikan umat ini sebagai kekuatan adidaya dan tidak bergantung, apalagi ditekan oleh negara-negara lain seperti saat ini. Semua hanya bisa terwujud jika umat mendapatkan pendidikan yang berkualitas. WalLâhu a’lam.
Tags
Opini
