Oleh. Nayla Shofy Arina
(Pegiat Literasi)
Penistaan agama kembali terulang. Kali ini dilakukan oleh seorang pejabat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang bertugas sebagai Kepala Otoritas Bandar Udara Wilayah X Merauke bernama Asep Kosasih, yang bersumpah untuk meyakinkan sang istri bahwa dia tidak berselingkuh sehingga dia berinisiatif meyakinkan sang istri melalui sumpah dengan menginjak Al-Qur’an. Selain penistaan agama, Asep Kosasih juga dilaporkan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kini dia dibebastugaskan sementara sejak terlibat kasus KDRT.
Kasus dugaan penistaan agama dilaporkan istri Asep Kosasih, Vany, kepada Polda Metro Jaya. Kuasa hukum Vany, Sunan Kalijaga, mengatakan Asep Kosasih sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus KDRT sejak April 2024. Kini kliennya melaporkan kembali dengan kasus yang berbeda.
Meski sudah jadi tersangka, Asep Kosasih belum ditahan hingga saat ini. (Tribunnews, 18/5/2024).
Sebelumnya, jika menilik dari kasus-kasus terdahulu terkait penistaan agama kerap menyasar pada Islam. Kasus yang baru terjadi, Tiktoker membuat konten tebak-tebakan mengandung unsur penistaan agama, ada juga makan babi dengan membaca Bismillah, komika membawakan materi kontroversial tentang nama Muhammad, Pendeta berceramah singgung zakat dan salat yang membuat kegaduhan, film dan konten yang menghina simbol-simbol Islam, hingga sampai pada aksi diluar nalar bersumpah dengan menginjak Al-Qur’an. Sungguh sangat miris.
Faktanya penistaan agama yang seringkali terjadi tentu menyadarkan kita semua, khususnya bagi umat Islam bahwa hingga detik ini kasus-kasus yang terjadi belum ditangani secara serius dengan solusi yang benar bisa menuntaskan akar permasalahannya. Berbagai sanksi yang diterapkan pun tidak mampu memberikan efek jera, buktinya kasus semakin marak terjadi. Hal demikian tentu hasil dari penerapan sistem kehidupan yang sekuler-liberal, dimana ranah agama hanya mengatur ibadah ritual saja, aturan-aturan yang lainnya tidak diperbolehkan mengatur seluruh kehidupan manusia.
Sistem yang liberal ini juga telah menciptakan kehidupan yang serba bebas. Ide kebebasan diagung-agungkan, khususnya pada kasus penistaan agama, akibat ide kebebasan berekspresi dan berpendapat. Dengan sistem sekuler-liberal, seseorang bahkan umat Islam sekalipun tidak lagi menjadikan agama sebagai pedoman hidup, aturannya dianggap usang, ajarannya dianggap tidak penting sehingga agama lambat laun dijadikan bahan penistaan, bahan bercanda dan sindiran.
Dengan tegas Allah Swt. berfirman: "Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, mereka pasti akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (TQ.S At-Taubah: 65)
Kebebasan berekspresi dan berpendapat inilah yang menjadi pelindung dan pembenar bagi mereka yang melakukan penistaan pada agama. Bahkan pelaku tidak dijatuhi hukuman yang membuat efek jera dan mampu menghentikan tindakan tersebut, sehingga kasus penistaan agama tumbuh subur dan menjadi inspirasi bagi pelaku lain untuk melakukan hal yang serupa.
Sebagai umat Islam, tentunya kita tidak ingin agama yang mulia ini dihina apalagi kasusnya sampai berulang terjadi. Karena wujud kecintaan pada Allah Swt., Rasul dan Islam itulah yang akan menimbulkan reaksi jika ada yang menistakan agamanya. Namun, penjagaan terhadap agama tidak bisa diwujudkan hanya pada individu atau kelompok saja melainkan dari sebuah negara yakni melalui penerapan sistem Islam.
Salah satu fungsi negara adalah melindungi dan memelihara agama. Agar tidak terjadi kasus penistaan agama, maka negara akan menerapkan sanksi tegas bagi para pelaku yang tentunya berefek jera.
Sebagaimana yang terjadi pada masa kekhalifahan Utsmaniyah, negara memerintahkan untuk menghentikan pertunjukkan drama di Perancis yang menghina Nabi Muhammad saw., lalu, Perancis serta merta membatalkannya. Kemudian, hal yang sama terjadi di Inggris, sampai pada akhirnya, khalifah saat itu mengultimatum akan mengobarkan jihad akbar. Kemudian, Inggris membatalkan pertunjukkan tersebut.
Inilah sikap seorang pemimpin di masa sistem Islam diterapkan. Negara memiliki khalifah (pemimpin) tegas dan berani yang merupakan junnah umat, akan menjaga agama dan akidah umat, mengontrol dan mengarahkan baik individu maupun masyarakat, agar memiliki pola sikap dan pola pikir Islam.
Oleh karena itu, negara yang sepenuhnya menerapkan sistem Islam secara totalitas dalam kehidupan mampu menghentikan dan menyelesaikan persoalan agama, meminimalisir bahkan tidak akan terjadi lagi penistaan agama. Semoga Khilafah kembali tegak.
Wallahu a’lam bishawab.
