Oleh: Sari Isna_Tulungagung
Di media sosial sedang marak pemberitaan tentang peristiwa bullying atau perundungan yang terjadi di sekolah bahkan di pesantren dan juga tidak sedikit yang terjadi juga di luar sekolah. Sayangnya korban dan pelaku pembulian adalah sama-sama dari kalangan anak-anak dan remaja bahkan anak perempuan pun bisa menjadi pelakunya.
Seperti kasus bullying yang terjadi di Bengkong Sadai, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), pada Minggu, 29 Februari 2024, menjadi luka pilu yang mendalam bagi dunia anak khususnya di Kota Batam. Pengakuan korban bullying yang ingin membela sang adik namun malah dikeroyok oleh empat anak sesama remaja putri (trends.tribunnews.com/02/03/2024).
Penyidik Polresta Barelang, Kepulauan Riau menangkap keempat remaja perempuan terduga pelaku tindakan perundungan tersebut. Kapolresta Barelang, Kombes Nugroho Tri mengatakan, empat pelaku tersebut, yaitu saudari N (18), RRS (14), M (15), dan AK (14). Mereka diduga terlibat kasus perundungan anak di Batam yang videonya viral di media sosial. Tim dari Reskrim Polresta Barelang maupun Polsek Lubuk Baja bertindak cepat dengan laporan adanya dua korban yang mengalami penganiayaan berinisial SR, 17 tahun dan EF, 14 tahun. Berdasarkan keterangan korban dan pelaku, mereka ternyata kerap terlibat saling menjelek-jelekan. Motif pelaku melakukan aksi perundungan, hanya karena kesal dan sakit hati dengan korban.(liputan6.com,03/03/2024).
Anak yang seharusnya menjadi masa menyenangkan berubah menjadi masa yang pilu dengan ada nya kasus perundungan (bullying) yang kerap kali terjadi. Nina selaku Wakil Ketua Divisi Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) dan Pengasuhan Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Kota Batam menjelaskan bahwa kasus ini bisa terjadi karena kurangnya pengawasan dan perhatian kepada anak, dan tingginya angka anak yang putus sekolah. Permasalahan ini yang menyebabkan anak berkumpul pada tempat atau lingkungan yang tidak semestinya, dan melakukan perilaku yang menyimpang. (batamnews.co.id.02/03/2024).
Miris sekali ketika anak perempuan yang seharusnya memiliki sifat lemah lembut tapi nyatanya begitu tega melakukan perundungan terhadap temannya sesama perempuan. Anak perempuan yang kelak menjadi generasi pencetak peradaban tetapi telah rusak oleh kapitalisme perkembangan jaman. Dan yang lebih disayangkan, karena pelakunya masih terkategori anak-anak, maka diterapkan hukum peradilan anak, dan anak sebagai anak berhadapan hukum, dengan sanksi yang lebih rendah. Model sistem peradilan seperti ini, -yang merujuk pada definisi anak adalah di bawah usia 18 tahun- menjadi celah banyaknya kasus bullying yang tak membuat jera pelaku. Sedangkan dalam Islam jika anak sudah mencapai akil baligh maka sudah sepatutnya dikenai sanksi sesuai aturan syara’.
Anak menjadi pelaku kekerasan menggambarkan lemahnya pengasuhan dan gagalnya sistem pendidikan mencetak anak didik yang berkepribadian mulia. Dengan berbagai pergantian kurikulum dalam pendidikan nyatanya tidak mampu mencetak generasi yang lebih baik, justru krisis moral makin menjadi-jadi. Kurikulum yang berkiblat pada sstem pendidikan barat jelas berbeda dengan kurikulum dalam pendidikan sistem Islam yang menjadikan akidah sebagai asas pendidikan. Tidak seperti sekarang, di mana akidah dan agama diberikan porsi yang sedikit bahkan justru dijauhkan dari nilai-nilai pendidikan.
Islam memiliki sistem sanksi yang shahih yang mampu membuat jera termasuk dalam menetapkan pertanggungjawaban pelaku dalam batas balighnya seseorang atau usia 15 tahun. Dalam hal hukum sanksi, Islam memandang uqubat (sanksi hukum) tersebut sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (kuratif). Disebut pencegah (preventif) karena dengan diterapkannya sanksi, orang lain yang akan melakukan kesalahan yang sama dapat dicegah sehingga tidak muncul keinginan untuk melakukan hal yang sama. Di samping itu, juga bisa mencegah dijatuhkannya hukuman di akhirat. Adapun yang dimaksud dengan pemaksa (kuratif), adalah agar orang yang melakukan kejahatan, kemaksiatan, atau pelanggaran tersebut bisa dipaksa untuk menyesali perbuatannya. Dengan begitu, akan terjadi penyesalan selama-lamanya atau tobat nasuha.
Islam memiliki sistem yang sempurna yang menjamin terbentuknya kepribadian yang mulia baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat. Islam memberikan solusi untuk menanggulangi tindakan bullying dengan tiga pilar. Pertama individu yang bertakwa yang lahir dari keluarga yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan. Kedua masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan Islam sehingga aktivitas amar ma’ruf nahi munkar adalah bagian dari keseharian mereka. Ketiga, negara yang menerapkan sanksi tegas sehingga keadilan hukum akan tercapai. Dan sanksi yang tegas dan adil hanya ada pada penerapan syariat Islam oleh negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah.
Tags
Opini
