Oleh: Nursaroh Hidayanti
Pajak PPN akan mengalami kenaikan menjadi 12% pada 2025, hal ini diungkapkan oleh Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto. Beliau menjelaskan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen. Hal itu bisa dilakukan melalui penerbitan peraturan pemerintah setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN. “Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen,” bunyi pasal tersebut.
Pajak PPN akan mengalami kenaikan menjadi 12% pada 2025, hal ini diungkapkan oleh Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto. Kenaikan ini akan tetap terjadi meskipun Presiden telah berganti. Hal ini disebabkan Prabowo-Gibran yang unggul dalam Pilpres 2024 ini akan melanjutkan program Presiden Joko Widodo (Jokowi) termasuk dalam urusan perpajakan. Beliau menjelaskan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen. Hal itu bisa dilakukan melalui penerbitan peraturan pemerintah setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN. “Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen,” bunyi pasal tersebut.
Apa itu PPN?
Dikutip dari CNN Indonesia, PPN adalah pajak pertambahan nilai atau biaya tambahan yang harus dibayarkan konsumen saat membeli barang. Namun, tidak semua hal yang dibeli dikenakan PPN, melainkan hanya Barang Kena Pajak (BKP).
PPN diatur melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Subjek PPN ini adalah perusahaan yang masuk sebagai wajib pajak (WP) Badan. Meski subjek PPN adalah perusahaan, namun tarif tersebut dipungut kepada konsumen. Jadi perusahaan hanya sebagai pemungut pajak perantara konsumen dan pemerintah.
Beberapa transaksi yang dikenakan PPN adalah pembelian rumah, kendaraan bermotor, layanan internet, sewa toko dan apartemen hingga jasa langganan netflix Cs. Artinya, jika PPN naik, maka harga barang-barang dan jasa tersebut sudah pasti ikut terkerek.
Dampak Kenaikan PPN
Meski PPN tidak dikenakan untuk bahan pokok seperti, ayam, gula, beras dan sebagainya. Namun, akan tetap berdampak pada daya beli masyarakat meski tidak secara langsung.
Direktur Center of Economic and Law (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan PPN yang menjadi 12 persen pada tahun depan terbilang cukup tinggi dan pasti akan menekan daya beli masyarakat.
Sebagai gambaran, PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa. Oleh karena itu, kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen akan berdampak pada naiknya harga barang dan jasa tertentu di pasar. Ibaratnya, untuk barang seharga pokok Rp 10.000, dengan tarif 12 persen, harga yang dibayar konsumen menjadi Rp 11.200.
Meskipun tidak setiap barang yang terkena kenaikan PPN, tetapi kenaikan ini pasti menyeret banyak barang dan jasa sehingga mengalami kenaikan harga. Tentunya tak dapat dipungkiri bahwa pihak yang paling dikorbankan adalah rakyat, rakyat semakin tercekik ditengah kondisi ekonomi yang tak kian membaik. Lantas kebijakan kenaikan ini untuk siapa?
Menaikkan Pajak adalah Jalan Pintas Menaikkan Penerimaan Negara
Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12 persen pada 2025 bisa dianggap sebagai "jalan pintas” menaikkan penerimaan negara. Namun akibatnya, langkah itu bisa menghambat pertumbuhan sejumlah indikator ekonomi nasional dan menekan kelompok masyarakat menengah-bawah.
Pemerintah dalam kebimbangan, di satu sisi, pemerintahan ke depan memang mempunyai tanggungan janji-janji kebijakan baru yang ingin direalisasikan ketika menjabat. Namun, kondisi ekonomi masih serba tidak pasti. Daya beli masyarakat juga sedang lesu terimpit kenaikan biaya hidup. Tapi apalah daya, demi program bisa terealisasi, tak ragu rakyatpun dikorbankan.
"Menaikkan PPN memang langkah paling mudah dan cepat untuk mengerek penerimaan, apalagi sumber pemasukan lain sekarang lagi turun. Namun, dampaknya bisa jadi buruk bagi pertumbuhan ekonomi, pendapatan masyarakat, dan konsumsi rumah tangga, kata ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, Selasa (12/3/2024).
Wajar memang, mengingat 80 persen APBN kita bergantung pada pajak, seolah rakyat menjadi sapi perah negaranya sendiri. Rakyat menjadi korban atas berbagai kebijakan yang dilakukan penguasa. Ketika penguasa memiliki program, sekalipun program tersebut tidak memberikan manfaat kepada rakyat, tetap saja rakyat yang menanggung semuanya.
Keuangan dalam Daulah Islam
Berbeda dengan Islam, sumber pemasukan dalam negara Islam tidak berasal dari pajak ataupun hutang luar negeri. Islam memiliki sumber pemasukan yang beragam, diantaranya dari anfal, ghanimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, harta milik umum, harta milik negara, usyur, dan harta sedekah/zakat. Salah satu pendapatan yang terbesar adalah hasil dari pengelolaan harta milik umum ataupun milik negara. Dalam daulah islam, haram hukumnya sumber daya dikuasai oleh swasta, namun harus dikelola oleh negara dan manfaatnya diberikan kepada rakyat. Berbeda dengan kapitalis, setiap individu diperbolehkan privatisasi sumber daya yang ada. Maka tak heran jika Indonesia negara yang kaya raya sumber daya alamnya, tetapi miskin rakyatnya, padahal tinggi pajaknya, karena memang sumber daya yang ada tidak diberikan kepada seluruh rakyatnya untuk dinikmati, melainkan hanya segelintir oligarki saja yang bisa menikmati.
Miris memang, jika seandainya seluruh sumber daya alam yang ada di Indonesia dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kepentingan rakyat, sangat mudah bagi negara untuk gratiskan biaya pendidikan, kesehatan, dan keamanan, apalagi hanya menghilangkan pajak yang ditanggung pemerintah. Namun sayang, justru post pemasukan terbesar dan terpenting tersebut ditiadakan, kalaupun ada sangat sedikit, sehingga tak heran jika rakyat menjadi tulang punggung negara yang harus menanggung segala kebiadaban keputusan penguasa.
Peran Negara dalam Islam
Islam mendudukkan peran negara adalah sebagai peri'ayah, atau pengurus urusan umat, bukan hanya sebagai regulator atau bahkan sebagai pemerah rakyat. Negara akan berupaya seoptimal mungkin mengatasi krisis keuangan negara tanpa membebankan rakyat dengan berbagai pungutan. Mengutamakan pembelanjaan negara dari sumber pendapatan yang ada.
Pemimpin negara sangat memahami hadis Rasulullah saw.,
“Barang siapa melepaskan kesusahan duniawi seorang muslim, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barang siapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.”
(HR Muslim)
Menjadi tanggung jawab pemimpin untuk melepaskan kesusahan rakyatnya. Sebagai ganjaran, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Masyaallah. Wallahualam.
Tags
Opini
