Oleh : Ummu Adhiim
Tim Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menyelenggarakan program Pengabdian Masyarakat (PKM) berupa pelatihan penanganan dan pencegahan kasus perundungan bagi guru BK se-Kabupaten Gresik melalui MGBK di Kabupaten Gresik, Senin (26/02/2024). Kemendikbudristek menyatakan bahwa berdasarkan hasil Asesmen Nasional pada 2022, terdapat 36,31% atau 1 dari 3 peserta didik (siswa) di Indonesia berpotensi mengalami perundungan (bullying).
Sekolah yang seharusnya menjadi rumah kedua yang aman dan nyaman bagi anak- anak. Nyatanya sekolah justru menjadi tempat yang menakutkan bagi mereka. Banyaknya kasus perundungan yang tejadi di semua tingkat pendidikan adalah bukti bahwa sekolah masih belum mampu menjadi tempat yang nyaman bagi siswanya. Apa yang salah dengan pendidikan sekarang ini? Sistem pendidikan yang terus bergonta - ganti kurikulumpun tak mampu mengatasi kasus perundungan.
Kasus perundungan atau bullying di Indonesia belakangan ini semakin meningkat dan meresahkan. Berbagai upaya telah disusun untuk pencegahan dan penanganan kasus tersebut. Namun demikian, berbagai program antiperundungan maupun aturan resmi dari pemerintah belum efektif mengurangi alih-alih mengatasi kasus perundungan di satuan pendidikan secara tuntas.
Akar permasalahan munculnya tindakan tersebut sejatinya adalah adanya kooptasi pemikiran serba bebas (liberal dan permisif) pada diri pelaku. Ini menunjukkan bahwa pelaku tidak memiliki standar berpikir benar atas perbuatannya sehingga yang menjadi output pemikirannya justru berupa tindakan perundungan. Sesungguhnya ini semua akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalisme di negeri ini. Asas sekularisme telah mencabut nilai-nilai moral dan agama. Asas ini akhirnya melahirkan liberalisme yang mengagung-agungkan kebebasan, termasuk kebebasan bertingkah laku sehingga aturan agama makin terpinggirkan.
Untuk mencegah terjadinya perundungan pada anak, penting menanamkan keimanan kepada Allah, serta ketundukan kepada ajaran Islam sejak anak kecil. Tapi, yang terjadi dalam sistem pendidikan saat ini justru agama hanya sebagai pelajaran pelengkap saja.
Pendidikan Islam yang sangat penting ini justru sering dicurigai sebagai sumber munculnya perilaku radikal, sampai-sampai ada usaha mengawasi sekolah-sekolah Islam, masjid, hingga Rohis kampus. Mirisnya lagi, tidak sedikit orang tua yang terpengaruh dengan framing jahat terhadap Islam yang dilakukan oleh penguasa sekuler-demokrasi sehingga mereka melarang anak-anaknya aktif di pengajian.
Orang tua juga harus bisa menjadi contoh yang saleh. Disamping itu, juga mewujudkan tatanan masyarakat yang kondusif dan negara yang islami yang senantiasa berkesinambungan untuk menjaga akidah dan keimanan.
Sudah seharusnya kita membuang sistem rusak seperti ini dan menggantinya dengan sistem kehidupan yang benar, yaitu sistem kehidupan yang datang dari Allah Taala, tidak lain adalah sistem Islam.
Negara Islam sebagai pelaksana utama diterapkannya syariat Islam, berwenang untuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku tindak kejahatan. Lalu, bagaimana sanksi dari negara Islam kepada pelaku perundungan?
Anak di bawah umur yang melakukan perbuatan kriminal (jarimah), misalnya mencuri, melakukan pengeroyokan (tawuran), perundungan secara fisik, dan sebagainya, tidak dapat dijatuhi sanksi pidana Islam (‘uqubat syar’iyyah), baik hudud, jinayah, mukhalafat, maupun takzir. Ini karena anak di bawah umur belum tergolong mukalaf, sedangkan syarat mukalaf adalah akil (berakal), balig (dewasa), dan mukhtar (melakukan perbuatan atas dasar pilihan sadar, bukan karena dipaksa atau berbuat di luar kuasanya).
Dalil bahwa anak di bawah umur dan orang gila tidak dapat dihukum adalah berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Telah diangkat pena dari tiga golongan, yaitu orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia balig, dan orang gila hingga ia berakal (waras).” (HR Abu Dawud).
Yang dimaksud “diangkat pena” (rufi’a al-qalamu) dalam hadis ini adalah diangkat taklif (beban hukum), yakni tiga golongan itu bukan mukalaf. (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 3/36).
Akan tetapi, perlu diketahui, dalam pandangan syariat, anak di bawah umur adalah anak yang belum balig (dewasa). Adapun jika pada seseorang sudah terdapat satu atau lebih di antara tanda-tanda balig (‘alamat al-bulugh) sebagaimana ditetapkan syariat, berarti ia sudah dianggap mukalaf dan dapat dijatuhi sanksi jika melakukan perbuatan kriminal. Sanksi yang dijatuhkan bagi orang yang menyakiti organ tubuh atau tulang manusia adalah diat.
Rasulullah saw. bersabda, “Pada dua biji mata, dikenakan diat. Pada satu biji mata, diatnya 50 ekor unta. Pada dua daun telinga dikenakan diat penuh.” (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat).
Oleh karenanya, jika pelaku kriminal adalah orang gila atau anak di bawah umur (belum balig), ia tidak dapat dihukum. Jika perbuatan kriminal yang dilakukan anak di bawah umur itu terjadi karena kelalaian walinya, misalnya wali mengetahui dan melakukan pembiaran, wali itulah yang dijatuhi sanksi. Namun, jika bukan karena kelalaian wali, wali tidak dapat dihukum. Namun, negara akan melakukan edukasi terhadap wali dan anak yang melakukan pelanggaran tersebut. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108).
Sungguh hanya sistem islamlah yang memberi solusi pada setiap problem kehidupan. Islam yang menjadi rahmatan lilalamin.
Wallahualam bissawab
