Oleh: Asma Sulistiawati
(Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Buton)
Tugas tenaga kesehatan haruslah bisa memberikan yang terbaik bagi masyarakat yang membutuhkan pengobatan. Karena itulah tugas mereka maka apa yang terjadi jika tugas itu diselewengkan? Apakah karena kekurangan dana atau apa?
Masyarakat Muna Barat harus berhati-hati dengan obat-obatan yang berasal dari puskesmas. Pasalnya stok obat di Puskesmas banyak yang kadaluwarsa. Hal tersebut terkuak setelah PJ Bupati Muna barat, Bahri mendapati langsung obat-obatan expired di puskesmas dan gedung farmasi. Ketua Barisan Pemuda Nusantara (Bapera) Muna Barat, La Ode Agus pun angkat suara. "Kejadian ini bentuk kegagalan Dinkes dalam membentuk sebuah tatanan menuju masyarakat sehat. Dinkes terkesan tidak peduli dengan yang terjadi pada kesehatan masyarakat," ungkap Agus. (telisik.id, 14/07/2022).
Sungguh miris melihat kejadian ini. Bukan hanya 1 puskesmas saja, bahkan ada beberapa yang ditemukan melakukan hal yang sama.
Seperti dilansir dari Kompas. Tv, 18/07/2022. Ribuan obat dari berbagai jenis ditemukan telah kadaluarsa dan tidak layak di konsumsi, di tiga puskesmas, di Kabupaten Muna Barat. Temuan itu diperoleh saat Bupati Muna Barat melakukan inpeksi mendadak atau sidak, di tiga Puskesmas.
Bukannya mengobati malah mengancam nyawa. Padahal imbauan dari BPOM untuk segera memusnahkan obat-obatan jika sudah kadaluarsa. Meskipun ada beberapa obat yang meski sudah kadaluwarsa tetapi masih tetap bisa digunakan. Namun tetap tenaga kesehatan seharusnya sudah memperhitungkan dampak negatif penggunaan obat yang melewati masa waktunya.
Lalu untuk pengawasan dan peredaran obat saat ini masih belum dapat menghentikan berbagai obat yang dikonsumsi rakyat. Terlebih banyak obat yang terlarang justru tersebar bebas, dikarenakan tidak adanya kerjasama yang komprehensif dengan berbagai pihak. Sistem kapitalis saat ini sangat terbuka peluang peredaran obat yang tidak halal dan thoyyib. Karena bersandar kepada jumlah permintaan dan keinginan sejumlah golongan untuk memanipulasi obat yang ada.
Tidak heran jika muncul kasus penyalahgunaan obat tidak semestinya. Bahkan dioplos dengan bahan lain agar terlihat manjur, namun membahayakan nyawa manusia. Pengawasan obat semestinya tidak hanya diserahkan kepada 1 lembaga saja, yakni dinas kesehatan. Melainkan semua lembaga juga bekerja sama.
Bahkan ketika memperhitungkan kerugian, jelas masyarakat lah yang merasa sangat dirugikan. Entah mau kemana lagi mereka kalau bukan puskesmas terdekat yang mereka datangi. Hal ini menimbulkan kontra dan keraguan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan.
Lalu apakah dari tindakan pengecekan ini menimbulkan efek jera bagi tenaga kesehatan yang masih suka ambil keuntungan? Jangan hanya karena bisnis meraih keuntungan, nasib rakyat dipertaruhkan. Kita bukan sedang bicara bisnis dan kesehatan masyarakat bukan untuk dibisniskan.
Menurut pasal 5 Peraturan Perundang-Undangan Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian mengatur mengenai pekerjaan yang dilakukan kefarmasian yakni :
Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi. Pemberian obat dari apoteker ini memang sebelumnya melalui rangkaian pemeriksaan dari dokter umum atau spesialis melalui resep kepada pasien. Karena pemberian resep dokter ini secara jelas dapat kita lihat didalam Pasal 21 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang menyatakan bahwa : “Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker” . Berarti pada dasarnya ada standarisasi pelayanan oleh kefarmasian yang diatur didalam pasal 3 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek yang menyatakan bahwa :
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa : “Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”
Nah pada kasus salah pemberian obat oleh apoteker ini dapat diselesaikan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang diatur dalam pasal 45 ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa :
Pasal 45 ayat (1) ”Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.”
Pasal 47 “Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.”
Dari keluhan ini maka, tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ini dapat kita lihat secara jelas didalam pasal 52 huruf a dan e Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa :
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
Berbeda dengan ketentuan Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan Ketentuan Pidana diatur didalam Pasal 84, sanksi yang diberikan:
a) Setiap tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
b) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Tentu saja pemberian obat yang salah ini merupakan sesuatu yang fatal apalagi bila kesalahan ini sampai mengakibatkan kesehatan korban semakin memburuk. Oleh sebab itu, dalam pemberian layanan jasa pengobatan diharapkan tenaga kesehatan baik dokter dan apoteker terlebih dahulu lebih teliti dalam pemberian obat-obatan. Supaya para petugas kesehatan ini lebih mengingat hak-hak dan perlindungan dari kelalaian pemberian resep agar tidak terjadi pelanggaran.
Disinilah kebutuhan akan qadhi hisbah yang hanya ada dalam sistem Islam, dimana qadhi hisbah ini akan mensidak keliling jika ada kecurangan dan pelanggaran terhadap syariat, termasuk peredaran obat. Sehingga obat kedaluarsa tidak akan ditemui. Ditambah lagi, sistem kesehatan yang berdasarkan kepada Islam, akan komprehensif dalam mengatasi kesehatan rakyat. Tidak akan ada obat disimpan dan mubazir jika diedarkan secara merata sesuai kebutuhan kesehatan rakyat. Lembaga kefarmasian akan selalu bersinergi dengan lembaga kesehatan untuk mengetahui peredaran kebutuhan obat di masyarakat. Begitu juga lembaga perdagangan akan memantau penjualan obat yang terjadi dan bekerja sama dengan balai pengawas obat dan makanan untuk mengatasipasi beredarnya obat yang dilarang dikonsumsi oleh rakyat.
Dalam Islam penguasa adalah yang bertanggungjawab penuh terhadap kesehatan rakyat. Dan merupakan salah satu amanah yang ada di pundaknya dan akan dihisab Allah SWT. Bagaimana hati-hatinya pemimpin menjaga harta rakyat ada pada apa yang dicontohkan Umar bin Khatab, salah satu Khulafaur Rasyidin. Suatu hari, Umar bin Khattab menderita sakit. Para tabib merekomendasikan beliau untuk meminum larutan yang dicampur madu. Sementara saat itu Baitul Mal menyimpan madu yang sangat banyak yang sangat cocok untuk Umar.
Namun bukannya langsung mengambilnya, Umar yang sedang sakit malah mengumpulkan manusia dan di atas mimbar kemudian meminta izin, “Aku tidak akan meminum madu jika kalian belum mengizinkannya. Jika tidak, maka madu itu haram untukku.” Rakyatnya menangis melihat betapa hati-hatinya Umar akan hal yang halal dan haram. Semuanya bersorak mengizinkan sembari berlinang air mata. (Ibnu Sa’d dalam Kitab Thabaqat Al Kubra).
Betapa pentingnya harta yang menjadi hak milik umat, hingga untuk kesehatannya sendiri Umar izin kepada rakyatnya. Yang mana hari ini langka terjadi. Peredaran obat tidak terkendali atau boleh dikatakan dikuasai kartel-kartel besar obat yang orientasinya semata keuntungan. Astaghfirullah.
Sementara dalam sistem kapitalisme, yang hari ini melingkupi setiap urusan masyarakat. Pengabaian ini adalah hal yang akan terus terjadi. Karena memang standarnya bukan kemaslahatan umat, negara tidak akan berdiri sebagai perisai dan benar-benar turun tangan sendiri mengurusi urusan rakyat. Terlalu ikut campur justru akan menghilangkan ” kemandirian” rakyat. Ada berbagai polemik mengapa puskesmas bisa memberikan obat yang kedaluwarsa, selain kelalaian dari petugasnya. Bisa jadi inilah potret masyarakat kini yang telah dibutakan materi sehingga tak berat menipu rakyat. Dan ini harus dituntaskan hanya dengan syariat Allah, bukan yang lain.
Wallahu'alam
Tags
Opini
