GOLPUT DOSA ?

Oleh : Hasan Amsyari 

Golput atau “golongan putih”menurut Wikipedia, diciptakan pada tahun 1971 oleh Imam Waluyo, digunakan istilah “putih” dikarenakan gerakan ini mencoblos warna putih pada surat suara, golput digunakan untuk menolak memberikan suara . Hal ini terjadi dikarenakan rasa kekecewaan terhadap pemerintah yang biasanya disebabkan oleh ketidakadilan dalam melaksanakan pemilihan umum.

Salah satu hal yang juga menyebabkan banyaknya angka golput di Indonesia yaitu rasa ketidapercayaan rakyat terhadap kepemimpinan seseorang presiden. Faktor ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah salah satunya adalah banyaknya janji yang tidak ditepati, ekonomi negara yang merosot dan sebagainya. Hasilnya rakyat tidak peduli dengan pemilu dan menganggap semua pemimpin negara adalah dewa kebohongan yang menyengsarakan.

 Angka Golput di Indonesia semakin tinggi dikarenakan orang-orang yang sejak dahulu memilih golput masih tetap memilih untuk tidak memilih, ditambah dengan para pemilih golput baru dan para pemilih pemula yang belum bisa menentukan pemimpinnya, akhirnya para pemilih pemula lebih memilih untuk tidak memilih atau golput sebagai pilihannya, karena takut dikecewakan oleh pemimpin barunya.

Menurut sejarah, golput di era Orde Baru (1995-1997) cenderung lebih rendah dibandingakan setelahnya, yaitu berada pada rentang 3 hingga 6 persen. Pada era Reformasi, tingakat golput semakin menanjak , Angkanya melambung hingga puncaknya pada pileg 2009 yang mencapai 29,10 persen, dan pada pilpres 2014 mencapai 29,01 persen. ( sumber : KPU dan tirto.id).

Di Indonesia golput dinilai buruk dan selalu dikriminalisasi oleh rakyat dan kelompok-kelompok politik, abstain dianggapnya adalah cara yang hina dalam berpolitik. Padahal hukum memiliki pandangan tersendiri tentang abstain dalam perpolitikan. Saat ini banyak sekali yang menyebutkan golput dapat dipidanakan, bahkan berdosa. Padahal golput pada dasarnya adalah bentuk lain dari abstain. Abstain adalah mekanisime yang disediakan dalam instrument demokrasi. Dengan logika tersebut, maka golput tidak bisa dipidana. 

Tetapi dalam pasal 308 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD dan DPRD memberikan ruang bagi penegak hukum untuk menjerat siapapun yang memaksa orang lain untuk golput. Pasal ini mengancam dengan pidana siapapun yang dengan sengaja menggunakan kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara. 

Koordinator Badan Pekerja Kontras, Haris Azhar mengecam pandangan yang menyebut golput bisa dipidana, memilih atau tidak memilih adalah hak yang dijamin hukum. Dengan kata lain golput juga dikenal di banyak negara. “ Abstain ataupun menentukan pilihan dari yang tersedia merupakan ekspresi partisipasi dalam politik,” ujarnya.

Beliau menjelaskan pasal 28 UUD RI 1945 dan pasal 23 UU HAM menjamin hak tersebut. Didalam dokumen resmi PBB tentang hak partisipasi dalam politik menyebut negara pihak termasuk indonesia, menjamin hak atas kebebasan berekspresi. Jadi, kalau ada larangan untuk golput, Haris menyebutkan larangan itu antidemokrasi dan anti rule of law. 

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSAM) Wahyudi Jafar, juga menilai aneh pandangan tentang kriminalisasi golput. Sebab ada “hak politik yang dillindungi, termasuk hak untuk tidak memilih”. Wahyudi menunjuk pasal 25 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Ia juga tidak sepakat dengan UU ITE bisa digunakan kepada orang yang mengajak melalui media sosial. “itu kan tidak masuk konten yang dilarang dalam UU ITE,” ujarnya kepada hukumonline.com

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti, juga memiliki pandangan yang senada, Ia mengecam pejabat intelijen ,pemerintah, atau Bawaslu yang cenderung menyalahkan orang yang golput. Menurut Ray, Pasal 308 UU Pemilu tak hanya menyasar pemaksaan untuk memilih atau tidak memilih. Penyelenggara Pemilu yang dengan sengaja membuat warga negara tidak memilih bisa dipidana. Karena itu ia meminta pernyataan terntang golput bisa dipidana ditarik kembali. “ Kami meminta mereka mengoreksi pernyataan mereka. Pernyataan itu melanggar Undang- Undang,” Katanya. (sumber : hukumonline.com).

GOLPUT DALAM ISLAM

Islam adalah agama yang tidak hanya mengajarkan spiritual saja, agama islam juga mengajarkan tentang bagaiman cara muslim dalam berpolitik. Seperti diketahui Nabi Muhammad Saw tidak hanya dijadikan pemimpin agama saja, tetapi Rasulullah pun dijadikan sebagai pemimpin negara. seorang muslim seharusnya menjadikan Rasulullah sebagai panutan dalam berpolitik. Tetapi bolehkan Umat Islam menggunakan politik demokrasi untuk mencari pemimpinnya?

Dalam sistem demokrasi Pemilu adalah ajang untuk mencari pemimpin, dan dalam Islam mencari pemimpin adalah hukumnya wajib, seperti saat Rasulullah Saw wafat, para sahabat utama berkumpul untuk membicarakan pemimpin/khalifah selanjutnya yang akan mennggantikan Rasulullah Saw dalam mengatur negara. Tetapi mencari pemimpin didalam hukum demokrasi, ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menyimpulkan demokrasi, maka di dalam islam memiliki dua pandangan yang berbeda.

Menurut Syekh Taqiyuddin An Nabhani memilih demokrasi sebagai jalan untuk mencari pemimpin tidak diperbolehkan. Menurut beliau, Demokrasi bukanlah ajaran islam maka tidaklah boleh umat islam mengambil jalan demokrasi untuk mencari pemimpin, Hal yang serupa juga dikatakan oleh Syekh Abdul Qadim Zallum. Alasan utama demokrasi tidak boleh melahirkan pemimpin untuk umat islam adalah, dalam demokrasi yang berhak mengambil hukum ataupun membuat hukum adalah rakyat, kaidah ini tidak diperbolehkan dalam Islam sesuai dengan FIrman Allah Swt “ Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka ia termasuk golongan kafir” (QS. Al -Maidah ,5:44).  

Adapun Ulama yang membolehkan mencari pemimpin dalam demokrasi, Para ulama yang lain mengatakan “ memilih pemimpin di dalam demokrasi di perbolehkan, karena mencari pemimpin dalam islam adalah hukumnya wajib walaupun dalam demokrasi ”. para ulama ini mengatakn jika umat islam tidak ikut dalam mencari pemimpin, yang ditakutkan adalah orang-orang kafir akan memimpin umat islam dan membuat hukum yang dilarang dalam agama islam . Mereka juga mengatakan syarat yang harus di tempuh dalam mencari pemimpin dalam demokrasi sangatlah ketat, contoh syarat yang dilakukan adalah membandingakan keburukan, Menurutnya jika dihidangkan kedua keburukan maka pilihlah keburukan yang paling kecil. Syarat tersebut menjadikan syarat yang kuat dalam mencari pemimpin dalam demokrasi. 

Jadi, golput bisa haram ataupun tidak dilihat dari pandagannya terhadap demokrasi yang menjadi sistemnya. Jika Demokrasi dianggap sebagai sistem yang tidak boleh diambil oleh umat muslim, maka golput adalah pilihan dalam berpolitik di demokrasi. Jika Demokrasi dianggap sistem yang diperbolehkan maka golput bisa jadi akan menjadi haram. Semua tergantung dalam melihat demokrasi.


Jakarta, 16 April 2019

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak