Tahun 2019 Menyongsong Perubahan Hakiki


Oleh : Reni R

(Member Akademi Menulis Kreatif3)


Tahun 2018 telah berlalu, namun memori kelam di tahun itu masih dirasakan hingga saat ini, tahun 2018 adalah tahun berduka bagi Indonesia. Sebagaimana kita ketahui pada 5 Agustus 2018 gempa berkekuatan 6,5 SR menghantam pulau Lombok, gempa ini didahului dengan gempa berkekuatan 6,4 SR. Pada Juli wilayah ini Juga terus dilanda sejumlah gempa susulan. Gempa bumi di Lombok telah menelan 468 korban jiwa. Selanjutnya, gempa bumi berkekuatan 7,7 SR dan Tsunami setinggi 1,5-3 meter di Donggala Palu yang membawa kehancuran di akhir september. Bencana ini meratakan seluruh kota dan membuat lebih dari 330 ribu orang kehilangan tempat tinggal. Menjelang tutup tahun kembali lagi terjadi Tsunami pada 22 Desember yang menghantam daerah Banten dan Lampung. Sebanyak 222 meninggal dunia, 843 luka dan 28 orang hilang (BNPB, 23/12). Akibat Tsunami tersebut sebanyak 558 unit rumah rusak, 9 hotel rusak berat, 60 warung kuliner dan 350 perahu rusak. 


Sepanjang tahun 2018 pula isu strategik nasional diwarnai berbagai peristiwa baik yang berdimensi sosial, ekonomi maupun politik, yang mana perlu menjadi perhatian dalam mengefektifkan kesinambungan pembangunan. 


Kini, negara harus dipastikan bahwa isu menonjol seperti bencana alam, pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Stabilitas Politik penting untuk menjadi bahan “assessment”. Sekaligus untuk menentukan opsi-opsi kebijakan akan datang yang bernilai tinggi bagi perbaikan kesejahteraan, keadilan dan keamanan sosial. 


Dalam dimensi sosial, tantangan terbesar yang dihadapi selama tahun 2018 adalah banyaknya bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami yang merenggut nyawa ribuan orang. Tahun ini seperti jadi tahun penuh duka bagi bangsa Indonesia mengingat banyaknya bencana masif mencakup kecelakaan transportasi udara dan laut yang menjadi catatan kelam sekaligus peristiwa sangat mematikan. 


Dari sejumlah bencana yang mematikan itu, tentu memang tak bisa terelakan upaya manusia hanya bisa menghindar dan menjaga kelestarian alam dan mengembangkan teknologi untuk mengantisipasi apabila bencana akan terjadi lagi. Namun, bencana alam ini menjadi ancaman “Nyata” yang bisa diantisipasi dengan baik sehingga tak menelan banyak korban jiwa. 


Salah satu opsi kebijakan pengendalian bencana dan upaya penting yang dapat diambil adalah mengefektifkan sistem peringatan dini, mengembalikan infrastruktur anti gempa, dan menyiapkan sumber daya. Menangani kedaruratan kesehatan, memulihkan dan membangun kembali (rekonstruksi). 


Namun, dalam mewujudkan semua program ini, masalah anggaran menjadi bagian tak terpisahkan dan selama ini masih menjadi kendala. Beberapa tahun terakhir, anggaran penanganan bencana mengalami penurunan yang sebelum nya 2017 pernah mencapai Rp. 2 Triliun tetapi tahun ini hanya sebesar Rp. 700 miliar. 


Dengan anggaran yang semakin kecil, berakibat pada kemampuan mitigasi bencana yang kian menurun. Sementara, bencana itu adalah sesuatu yang pasti terjadi dan penanganannya harus dijadikan prioritas. Meski bencana alam itu tak bisa diprediksi, namun harus ada persiapan mitigasi dan dalam persiapan maupun penanganan dibutuhkan anggaran yang mencukupi. 


Dalam dimensi ekonomi, isu divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) menjadi faktor penting dalam mengembalikan kekuatan bangsa ini. Jokowi menjalin kesepakatan awal atau Heads Off Agreements (HoA) antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Freeport-McMoRan Inc, dan Rio Tinto. Negosiasi ini berjalan alot, selama 4 tahun terakhir, telah berhasil mencapai kesepakatan peningkatan kepemilikan saham dari 9,36% menjadi 51,2%. 


Sedangkan dalam dimensi politik, isu proses pemilihan presiden (pilpres) 2019 menjadi ajang penilaian masing-masing capres, apakah semua hal yang berkaitan dengan penanganan bencana dan divestasi Freeport menjadi jualan politik yang potensial atau sebaliknya menjadi bagian dari evaluasi ditengah keterbatasan kemampuan/kekurangan yang ada. Proses Demokrasi di Indonesia, khususnya dalam pertarungan perebutan kekuasaan. Masing-masing capres harus menggali isu-isu strategik yang dapat menjadi unggulan dalam meyakinkan rakyat. Bencana alam dengan segala dampak sosialnya, serta upaya penanganannya menjadi salah satu agenda penting untuk diperdebatkan oleh masing-masing Capres. Walaupun dalam penanganan nya masih carut-marut. 


Berbeda dengan sistem Demokrasi yang diadopsi negeri ini yang masih carut marut menangani bencana, Islam hadir ke muka bumi ini dengan seperangkat peraturan di dalam nya sekaligus solusi bagi seluruh permasalahan kehidupan. Termasuk dalam penanggulangan bencana alam. Islam memandang Allah SWT sebagai pencipta yang mengendalikan alam semesta. Kita bisa berkaca dari apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika menyikapi gempa di Madinah, Rasulullah SAW meletakan kedua tangan nya diatas tanah dan berkata “belum saatnya bagimu”.  lalu Nabi SAW menoleh kearah para sahabat dan berkata ”sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian maka jawablah (buatlah Allah ridho kepada kalian)”. Demikian juga yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ketika terjadi gempa di masa ke Khilafahannya. Umar bin Khattab bertanya kepada penduduk negeri dosa (maksiat) apa yang telah diperbuat sehingga alam murka.

Fakta yang dialami dan dilakukan Rasulullah beserta Shahabat diatas berbanding terbalik dengan kondisi saat ini. penguasa yang seharusnya takut ri'ayahnya akan dimintai pertanggung jawaban di Yaumil Hisab kelak nyatanya tak bergeming. Penguasa yang seharusnya jadi pelayan umat nyatanya menjadi antek asing dan aseng. kebijakannya menguntungkan para komprador asing ketimbang rakyatnya. permasalahan akibat program kufurnya terus berlanjut. Datang silih berganti dengan solusi tambal sulam dan politik belah bambunya. Sedemikian gagalnya rezim mengatur urusan umat dalam segala aspek kehidupan. Maka, masih berharapkah rezim kapitalis-sekular melanjutkan periodenya? Tak cukupkah kita tersadar telah terperosok ke dalam lubang yang sama, kotor lagi menjijikkan?


Refleksi tahun 2018 adalah tahun kesedihan bagi umat Islam, kedzaliman, kedurhakaan demi kedurhakaan terjadi dengan telanjang hingga mengundang berbagai peringatan dari Allah SWT. Akibat kedzaliman dan kedurhakaan ini, alam pun ikut murka. Alhasil terjadi lah bencana dimana-mana yang datang bertubi-tubi, silih berganti. 


Belajar dari Rasulullah SAW dan Khalifah Umar bin Khattab, maka hal pertama yang harus dilakukan ketika menyikapi bencana adalah mengingat Allah SWT, bertaubat dan instrospeksi atas dosa-dosa dan maksiat yang kita lakukan. Hal ini juga menjadi penjaga kita agar taat kepada kepada syariat-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Baik dalam sekala individu, masyarakat, maupun negara. Karena bencana bisa datang kapan saja, memusnahkan orang tanpa melihat apakah diantara mereka ada ahli ibadah ataukah ahli maksiat. 


Penanggulangan bencana dalam Islam ditegakan atas akidah Islam dan dijalankan pengaturannya berdasarkan syariat Islam serta ditujukan untuk kemaslahatan umat. Maka Negara dalam hal ini Khalifah akan merumuskan kebijakan penanggulangan bencana yang meliputi tiga aspek yakni, sebelum, saat terjadi, dan pasca bencana. 


Penanganan sebelum terjadi gempa adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk meminimalisir dampak saat terjadi bencana, seperti meneliti standar bangunan dan zonasi rawan bencana. Negara akan membuat mapping (pemetaan) daerah rawan gempa dan tsunami. Para ahli teknik akan di maksimalkan potensinya untuk menganalisa bangunan infrastruktur yang telah ada dan akan dibangun dengan lebih memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan bencana (gempa dan tsunami). Kepada masyarakat, negara akan melakukan edukasi terkait pengetahuan kegempaan termasuk cara menyelamatkan diri ketika terjadi bencana. 


Adapun penanganan ketika terjadi bencana ditujukan untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian materi akibat bencana. Maka negara akan melakukan tanggap darurat menurunkan tim SAR secara maksimal dan melakukan evakuasi secepat mungkin, Memberikan bantuan medis dan logistik, membuka jalan dan jalur komunikasi jika terputus. Negara juga menyiapkan tempat pengungsian termasuk membuat dapur umum. 


Sedangkan penanganan pasca gempa ditujukan untuk melakukan pemulihan para korban dan tempat tinggal mereka. Untuk pemulihan para korban meliputi pemulihan fisik dan mental. Pemulihan fisik dilakukan dengan memberikan pelayanan dan perawatan yang baik. Sedangkan pemulihan mental dilakukan dengan memberikan tausiyah yang menguatkan keimanan kepada Allah SWT. 


Selanjutnya melakukan pemulihan tempat tinggal mereka dan bangunan insfrastruktur yang rusak akibat gempa dan tsunami. Jika dipandang perlu maka negara akan relokasi penduduk ketempat lain yang lebih aman dan kondusif. Negara juga akan melakukan sains dan teknologi untuk mendukung keoptimalan penanganan bencana sebagai kewajiban pengurusan umat. 


Demikianlah cara Islam menanggulangi bencana. Sudah saatnya kita mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan Allah SWT dan merenungkan firmanNya : "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan. melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan dari bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat) kami itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS.Al-A’raf:96).


Maka di tahun 2019 selayaknya umat fokus lebih giat berjuang mewujudkan perubahan hakiki. Yakni mengajak umat mencampakan sistem Sekuler-Demokrasi dan menerapkan hukum Allah dalam naungan khilafah yang dijamin akan mengundang kebaikan dan keberkahan. 



Wallahu a'lam bi Ash Shawab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak