Tak Rela Berstatus Honorer Abadi
Oleh : Eva Rahmawati
( Member Akademi Menulis Kreatif )
Ungkapan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa benar adanya. Pengabdian guru sama dengan pahlawan, keduanya menginginkan rakyat merdeka. Hanya beda agenda. Agenda pahlawan merdeka dari penjajahan sedangkan guru merdeka dari kebodohan. Jasa guru penting bagi masa depan suatu bangsa. Berjuang tak kenal lelah mengantar generasi penerus dan berperan aktif turut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perjuangan dan pengabdian yang begitu besar, mustinya para guru mendapat apresiasi pemerintah, sayangnya di negeri ini ada ketidakadilan soal kesejahteraan guru. Ada perbedaan gaji antara guru PNS dan guru honorer. Jika guru PNS sekitar 3 juta sedangkan guru honorer sekitar 200-800 ribu.
Dilansir oleh Republika.co.id (4/10/18). Mardiana Juana Poduloya, guru honorer di SD Masehi Kapunduk, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur mengatakan sudah bekerja di sekolah itu selama 13 tahun dan gajinya masih sama sampai saat ini. "Gaji saya hanya Rp 300 ribu per bulan. Padahal sudah 13 tahun saya mengabdi di sekolah ini hanya sebagai pegawai honorer," katanya kepada wartawan di Waingapu, Sumba Timur, Senin (19/2).
Parahnya jumlah guru honorer sebanding dengan guru PNS. Artinya begitu banyak para guru jauh dari kata sejahtera mengingat kondisi ekonomi serba sulit, sembako harganya melangit belum lagi ditambah dengan kebutuhan-kebutuhan pokok lain yang terus merangkak naik seperti listrik, BBM, gas, biaya pendidikan, kesehatan, dll.
Dilansir oleh cnnindonesia.com (4/6/18), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat hampir setengah dari jumlah guru di Indonesia ternyata masih berstatus tenaga honorer K2. Berbeda dengan tenaga honorer K1, guru honerer K2 harus mengikuti seleksi jika ingin diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Muhadjir menyatakan jumlah tenaga guru honorer K2 saat ini mencapai 1,53 juta orang, dari jumlah guru keseluruhan sebanyak 3,2 juta orang. Menurut dia, banyaknya jumlah tenaga guru honorer disebabkan oleh kurangnya tenaga pengajar berstatus PNS di Indonesia. Saat ini, Indonesia kekurangan guru berstatus PNS sebanyak 988.133 orang.
Setelah moratorium PNS selama 5 tahun, tahun 2018 dibuka kembali seleksi CPNS. Tentunya ini kabar gembira bagi guru honorer, berharap tahun ini bisa mengakhiri status honorer berubah menjadi PNS. Faktanya pemerintah justru membuat kebijakan merugikan bagi guru honorer kategori dua (K2). Kebijakan ini mendorong gerakan penolakan atas rekrutmen CPNS 2018, yang dilakukan guru honorer kategori dua di berbagai daerah.
Koordinator Forum Guru Honorer Kecamatan Lembang Cecep Supriadi mengatakan, disamping menuntut upah layak, para honorer juga menuntut agar Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Nomor 36 Tahun 2018 dicabut dan dibatalkan. Alasannya, aturan mengenai kriteria kebutuhan PNS dan seleksi calon pegawai negeri sipil 2018 dianggap tidak adil, karena honorer berusia lebih dari 35 tahun tak bisa ikut CPNS.
"Kami menyatakan sikap untuk mogok kerja bareng, agar tuntutan kami itu diperhatikan. Dalam menyikapi Permenpan-RB 36/2018, intinya kami merasa didzolimi, terutama yang berumur lebih dari 35 tahun. Kami juga memohon perlindungan, karena kami itu statusnya GTT, guru tidak tetap. Itu hanya berdasarkan surat keputusan kepala sekolah," katanya. (www.pikiran-rakyat.com, 18/9/18)
Menanggapi semakin gencarnya aksi mogok kerja guru honorer K2, pihak pemerintah merespon dingin. Padahal sejatinya aturan pembatasan usia CPNS secara tidak langsung menutup kemungkinan guru honorer K2 menjadi PNS karena mayoritas mereka berumur lebih dari 35 tahun.
Dilansir oleh okezone.com (20/9/18), Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta pekerja honorer tak memaksakan kehendak untuk mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2018. Pasalnya, ada aturan yang harus dipatuhi untuk menjadi PNS. "Jadi, enggak bisa memaksakan kehendak. Negara ini ada aturannya kok," tegas Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Apa yang dikatakan Kepala Staf Keprsidenan Moeldoko justru memperjelas adanya diskriminasi, dan tidak konsistennya pemerintah. Lihatlah untuk menjadi PNS ada syarat-syarat yang harus dipatuhi misal soal batasan usia dan jenjang pendidikan minimal S1 bagi guru tetapi faktanya untuk menjadi pejabat pemerintah tidak ada batasan usia dan jenjang pendidikan. Sebagai contoh salah satu calon wakil presiden berusia kurang lebih 70 tahun , presiden ada yang hanya lulusan SMA, Menterinya pun ada yang lulusan SMP, dll.
Cita-cita negeri ini untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya tidak akan terwujud jika negeri ini masih setia dengan sistem sekulerisme kapitalisme. Sistem sekulerisme adalah sistem kehidupan berdasarkan pemisahan peran agama dalam kehidupan. Agama hanya mengatur ibadah ritual saja, sedangkan aspek yang lain seperti politik, ekonomi, pendidikan, pemerintahan, dll, diserahkan kepada manusia yang kering dari ruh karena bersumber dari hawa nafsu. Sistem sekulerisme dengan ideologi kapitalisme meniscayakan sistem politik, ekonomi termasuk pendidikan yang kapitalistik. Prinsip dasar dari ideologi kapitalisme adalah meraup keuntungan yang sebesar-besanya untuk kepentingan pemodal baik swasta maupun individu. Prinsip kapitalisasi pendidikan ini telah menggeser visi mulia lembaga pendidikan menjadi sekedar alat untuk mencari keuntungan.
Lihatlah betapa mahalnya biaya pendidikan sekarang ini, untuk masuk sekolah unggul harus merogoh kocek lebih dalam sedangkan sekolah gratis kwalitasnya apa adanya. Dan ini merata mulai dari tingkat pendidikan TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Hal ini membuktikan diskriminasi dalam dunia pendidikan bagi peserta didik. Pendidikan dengan kwalitas terbaik untuk mereka yang kaya saja.
Maraknya aksi mogok kerja guru honorer sebagai bukti buruknya perlakuan ideologi kapitalisme terhadap profesi pendidik. Peran para guru sangat penting bagi kemajuan bangsa, akan tetapi ketidakadilan dan diskriminasi justru yang mereka dapatkan. Dari soal gaji, kesejahteraan, hingga kebijakan mempersulit perjuangan para guru mendapatkan hak-haknya untuk menjadi PNS dengan batasan usia dan jenjang pendidikan.
Solusi adalah sistem Islam
Islam adalah agama sempurna. Sejak diturunkan empat belas abad silam, Islam terbukti menjadi solusi problematika manusia karena bersumber dari wahyu Allah SWT. Bukan hanya mengatur ibadah saja, Islam juga mengatur seluruh aspek kehidupan mencakup aturan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pemerintahan dll.
Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan. Islam mewajibkan muslim laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
"Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim". (HR Ibnu Majah)
Dengan kewajiban menuntut ilmu bagi tiap muslim dari buaian hingga ke liang lahat tanpa adanya batasan usia dan jenjang pendidikan maka akan mencetak generasi unggul dan berwawasan luas sebagai pilar peradaban. Membangun peradaban mulia dibutuhkan peran para guru sebagai salah satu arsiteknya. Kedudukan guru dalam Islam sangat mulia sebagai pembimbing, pendidik dan mentransfer ilmu yang bermanfaat.
Selain itu, Islam memberikan perhatian sangat tinggi terhadap para guru dengan upah yang melampaui kebutuhannya. Sebagai wujud perhatian dan penghargaan sebesar-besarnya terhadap profesi pendidik. Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam naungan Khilafah benar-benar diperhatikan kesejahteraannya. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau memberikan kepada seorang guru yang mengajar anak-anak gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 575 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp 36.656.250,-). Bandingkan dengan gaji guru saat ini guru PNS saja gaji UMR sekitar 3 juta apalagi guru honorer hanya 200-800 ribu itu seperberapa dari gaji guru masa kekhilafahan?
Pada masa kekhilafahan sarana dan prasarana pendidikan sangat diperhatikan. Beasiswa selalu diberikan kepada seluruh warganya, karena memang pendidikan saat itu bebas biaya. Khalifah memahami bahwa pendidikan rakyat adalah tanggung jawab negara. Perpustakaan tersebar diseluruh negeri dengan buku yang cukup lengkap. Bahkan salah satu perpustakaan pada masa Abasiyah, yaitu al-Fathimiyyin, mempunyai buku sejumlah 1.600.000 judul buku. Padahal pada saat yang hampir bersamaan, Gereja Canterbury di Inggris saat itu hanya memiliki koleksi buku sebanyak 1.800 judul buku. Islam saat itu memang sedang mengalami masa-masa keemasan. Bahkan Dunia Islam, yang saat itu berpusat di Bagdad, adalah pusat ilmu pengetahuan dunia. (Materi Dasar Islam, Arief B. Iskandar, hlm. 114-115)
Itulah gambaran sistem pendidikan yang terbukti sukses membangun peradaban mulia. Peserta didik dan profesi pendidik benar-benar diperhatikan. Keduanya sama-sama mendapatkan hak-haknya, hak untuk mendapatkan pendidikan dan hidup sejahtera tanpa adanya diskriminasi apa pun. Tak ada perbedaan status PNS ataupun honorer, para guru semuanya sama hidup sejahtera ketika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan.
Wallahua'lam biashawwb.