Oleh: Arin RM, S.Si
(Member TSC)
Bersusulannya bencana di negeri ini sungguh menyayat hati. Pasca Lombok, dalam waktu berdekatan Palu, Sigi, Donggala diterpa gempa dan tsunami. Namun, Lombok belum tuntas, belum pula ditetapkan sebagai bencana nasional. Alasan yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat yang menjelaskan alasan belum ditetapkannya gempa di Lombok, NTB sebagai bencana nasional. Menurutnya pemerintah pusat menilai pemerintah daerah NTB masih bisa menangani pascabencana gempa itu sendiri (liputan6.com, 25/08/2018). Lebih menyedihkan lagi adalah adanya pertimbangan bahwa penetapan status bencana nasional bisa menutup pintu wisatawan dalam bahkan luar negeri ke seluruh wilayah Lombok hingga Bali (cnnindonesia.com, 21/08/2018).
Hal serupa terjadi Palu dan sekitarnya. Kondisi masyarakat yang terliput media sosial masih dalam fase tanggap darurat. Masih butuh banyak sekali pertolongan. Namun akibat ketidaksigapan oleh pihak yang seharusnya bertanggungjawab terhadap rakyat, para korban yang masih hidup dilanda kelaparan. Banyak yang sakit karena bantuan obat tidak segera datang. Mereka terpaksa bertahan semampunya ditengah terputusnya akses air, listrik, dan transportasi sekaligus. Maka tidak heran jika jumlah meninggal juga semakin bertambah. Korban yang meninggal menurut BNPB menjadi sebanyak 1763 orang (m.liputan6.com, 07/10/2018). Dan BNPB juga memperkirakan 5000 orang masih tertimbun di Balaroa dan Petobo (nasional.kompas.com, 07/10/2018). Sungguh memprihatinkan.
Sama dengan Lombok, pemerintah juga tak segera menetapkan bencana di Palu dan sekitarnya sebagai bencana nasional. Akibatnya bantuan datang atas inisiatif berbagai lembaga secara mandiri. Dan bisa dipastikan, bahwa jangkauan lembaga mandiri akan kalah luas jika dibandingkan dengan jangkauan yang mampu dijangkau oleh penguasa. Namun demikian adanya, meskipun semampunya, para korban haruslah tetap diupayakan ditolong. Agar duka mereka sedikit terobati, meski sebenarnya lingkungan mereka luluh lantak oleh dahsayatnya bencana.
Di saat yang berdekatan, perlakuan pemerintah terhadap tamu asing yang menyelenggarakan IMF Annual Meeting di Bali begitu istimewa. Dananya tentu juga istimewa. Besar dan banyak. Setidaknya, menurut klaim terakhir, uang yang dialokasikan buat pertemuan ini mencapai Rp855,5 miliar; terdiri anggaran tahun 2017 sebesar Rp45.415.890.000 dan anggaran tahun 2018 sebesar Rp810.174.102.550. Tak semua uang sebanyak itu berasal dari APBN. Sebesar Rp137 miliar adalah kontribusi dari Bank Indonesia. Sisanya, Rp672,59 miliar, dari saku Kemenkeu (APBN). Pagu yang ditetapkan BI berkurang setelah pada Agustus 2018 ada rencana mengalokasikan hingga Rp243 miliar (tirto.id, 08/10/2018).
Padahal sejumlah aktivis mengkritisi pertemuan itu sebagai kegiatan yang tidak begitu penting. Koordinator Gerak Lawan Muhammad Reza Sahid menyatakan IMF dan Bank Dunia adalah dua lembaga yang kehadiran tidak memberikan keuntungan bagi rakyat dunia. "IMF adalah sebuah kenihilan, kesia-siaan yang hakiki atas kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat dunia. Tak ada hal siginifikan yang berguna dilakukannya selama lembaga ini eksis di muka bumi. Yang miskin tetap saja miskin, malah makin miskin. Kedaulatan negara digerogoti," tuturnya dalam siaran pers yang diterima CNNIndonesia.com (12/10/2018). Senada, Koordinator Internasional La Via Campesina Zaninal Arifin Fuad turut menuding IMF dan Bank Dunia terlibat dan berperan dalam menganulir makna reforma agraria. Menurutnya, reforma agraria yang dikemukakan Bank Dunia dan IMF berbasis pasar dan bukan yang diinginkan komunitas petani. Beberapa penolakan kebijakan Bank Dunia dan IMF lainnya juga dilakukan oleh Gerak Lawan seperti, pembagunan NYIA (New Yogyakarta International Airport), perampasan laut dari industri pariwisata dan pembagunan infrastruktur kawasan ekonomi di Bintan-Kepulauan Riau, dan juga proyek-proyek raksasa lainnya yang terkait dengan energi dan pertambangan.
Apa yang disuarakan oleh kritikus hanyalah sedikit dari adanya indikasi upaya penguatan cengkeraman kapitalisme di Indonesia. Amat disayangkan perlakuan terhadap pengusung konsep sekaligus designer penguasaan berbasis neoliberalisme sangat jauh berbalik dengan perlakuan terhadap rakyat yang dirundung duka. Jelaslah kemana arah bangsa ini akan dibawa. Apakah nantinya seluruh kekayaan negara akan menjadi bahan sedotan mereka dengan baju investasi? Apa yang nantinya disisakan untuk generasi bangsa?
Pelajaran dari duka Lombok VS Meriahnya pembukaan Asian games dan Jamuan di Bali VS duka Palu dan sekitarnya seharusnya membuat kita semua sadar. Bahwa alam kapitalisme tak akan melahirkan penguasa yang mampu independen pro rakyat 100% layaknya Umar bin Khattab tatkala tanggap gempa Madinah. Penguasa negeri manapun ketika mengambil platform kapitalisme akan terikat kepentingan kapitalis dunia dengan aneka rupa modelnya. Dan tentunya posisi rakyat dinomor sekiankan. Menjelang pemilihan mereka akan dilirik kembali. Tapi itu pun sementara, ketika dibutuhkan suaranya.
Oleh karena itu, sudah saatnya alam kapitalisme ini digilir oleh keberadaan sistem yang lebih manusiawi. Yang dicontohkan nabi beserta sahabatnya. Sistem yang menggunakan aturan Ilahi dan menjadikan rakyat sebagai objek amanah yang benar-benar diperlakukan dengan baik. Sebuah sistem yang melahirkan pemimpin pro rakyat bukan karena pencitraan semata, tetapi karena sadar penuh bahwa perlakuannya atas mereka adalah hisab terbesar di hadapan pemilik alam raya. [Arin RM].