Oleh: Ummu Ayla
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)
Idul Fitri baru saja berlalu. Umat Islam menyambut dengan suka cita. Setelah satu bulan berpuasa.
Namun dibalik kebahagiaan idul Fitri tahun ini, kebiadaban Zion*s memang “tidak ada bandingannya”. Meski kaum muslim tengah merayakan hari istimewa, serangan brutal terus dilancarkan hingga menewaskan setidaknya 35 orang, termasuk anak-anak yang masih dengan pakaian Idulfitri mereka. Gazamedia menyebutkan, jumlah korban tewas saat serangan saat Hari Raya mencapai 76 orang.
Meski demikian, semua itu tidaklah menyurutkan muslim Gaza untuk melaksanakan salat Id berjemaah meski akhirnya menjadi Idulfitri berdarah. Mereka melakukannya di antara puing-puing reruntuhan dan di tengah kesulitan bahan p
angan akibat blokade yang makin ketat sejak berakhirnya gencatan senjata tahap pertama dan pembatalan sepihak Zion*s atas fase gencatan senjata berikutnya.
Kondisi kaum muslim Palestina, khususnya Gaza, makin hari memang makin sulit saja. Berbagai protokol perjanjian gencatan senjata yang sebelumnya disepakati dilanggar sepihak oleh entitas Zion*s. Mereka bukan hanya melakukan berbagai serangan bersenjata, sejak awal Maret ini mereka juga memblokade Gaza. Mereka dengan sengaja menghalang-halangi masuknya bantuan berupa 600 truk bahan pangan dan obat-obatan, serta 50 truk bahan bakar setiap hari seperti sebelumnya disepakati.
Walhasil, beberapa hari ke depan, sekira 2,4 juta warga Gaza yang tersisa akan menghadapi kesedihan dan ancaman kelaparan serius di tengah kondisi keamanan yang makin parah. Dikabarkan, banyak dapur umum yang mulai tutup. Krisis tepung juga menyebabkan toko-toko roti menghentikan produksinya. Organisasi Pangan Dunia PBB (WFP) bahkan telah memperingatkan bahwa stok makanan yang tersisa di Gaza bisa habis dalam waktu sekitar 10 hari ke depan.
Selain menghadapi ancaman kelaparan dan agresi yang makin brutal, warga Gaza pun menghadapi ancaman pengusiran. Beberapa media menyebutkan bahwa pihak Zion*s telah memaksa warga asli Palestina meninggalkan 20% wilayah Gaza, termasuk di wilayah-wilayah yang selama ini dikenal sebagai zona kemanusiaan.
Sebagaimana diketahui, pada 1 Maret 2025, pihak Zion*s menyatakan lepas dari perjanjian gencatan senjata dengan dalih Ham*s telah melanggar perjanjian. Pihak Zion*s lalu mulai memblokade kembali Gaza dan pada 18 Maret mereka kembali melancarkan serangan militernya seraya melancarkan invasi darat baru ke seluruh wilayah di jalur Gaza.
Tercatat sejak dimulainya serangan tersebut, lebih dari 912 orang tewas dan 2.054 orang luka-luka, sebagian besarnya perempuan dan anak-anak. Adapun jika dihitung sejak agresi dimulai pada 7 Oktober 2023 korban genosida menjadi lebih dari 50.200 orang, 164.000 luka-luka, dan 14.000 orang dinyatakan hilang.
Meski saat ini pihak Ham*s intens melakukan negosiasi ulang dengan pihak Zion*s di bawah kawalan Mesir, Qatar, dan AS, tampak bahwa perang ini sangat tidak imbang. Terlebih keterlibatan para pihak dalam negosiasi ini dibungkus oleh kepentingan nasional dan kepentingan pragmatis masing-masing, terutama jika mengingat posisi mereka adalah sekutu utama non-NATO bagi AS di Timur Tengah.
Wajar jika saat genosida di Gaza terjadi, tidak ada yang dilakukan para penguasa negeri ini. Alih-alih fokus menghilangkan akar problem Palestina, yakni membantu rakyat Palestina mengusir penjajah dengan mengirimkan pasukan militernya, sekadar membuka pintu perbatasan untuk memperlancar pengiriman bantuan kemanusiaan pun tidak mampu dilakukan dengan dalih harus menjaga kepentingan nasional.
Semua ini menegaskan bahwa masa depan Gaza dan Palestina memang sejatinya tidak mungkin diserahkan kepada negara-negara yang penguasanya tidak berkhidmat kepada Islam dan kaum muslim meski mereka mengaku sebagai negara Islam. Apalagi kepada komunitas internasional yang cenderung memilih diam.
Bagaimanapun, sejarah kemunculan negara-negara bangsa berikut para penguasanya ini adalah hasil dari skenario Barat dalam rangka melemahkan posisi politik Dunia Islam di kancah politik internasional. Oleh karenanya, sampai kapan pun, konsep negara bangsa dengan konsep nasionalismenya akan menjadi racun bagi cita-cita pembebasan Palestina, termasuk Gaza pada masa mendatang.
Tentu saja kita sangat percaya pada kesungguhan Ham*s dan keikhlasannya dalam memperjuangkan kemuliaan Islam dan kaum muslim. Bagaimanapun juga, posisi Ham*s adalah sebuah pergerakan atau milisi bersenjata—sebagaimana Houtsi di Yaman dan Hizbullah di Lebanon yang kedudukannya ada di bawah kekuatan negara—sehingga akan sulit mengambil keputusan-keputusan independen dalam level negara, jika tanpa campur tangan negara.
Oleh karenanya, yang bisa diharapkan mampu membebaskan Palestina dan mengusir penjajah dari seluruh wilayahnya hanyalah sebuah negara kuat yang tegak semata di atas visi Islam, bukan sekularisme nasionalisme yang terbukti menjadi batu sandungan persatuan hakiki umat Islam. Negara seperti ini akan memimpin jihad melawan penjajah dan vis-à-vis berhadapan dengan semua negara yang turut bertanggung jawab dalam melanggengkan penjajahan untuk memaksa mereka kembali pada posisi seharusnya.
Inilah negara Khilafah yang kemunculannya sangat ditakuti Amerika dan para penguasa muslim yang menjadi sekutu setianya. Khilafah pernah menaungi umat Islam sejak Rasulullah SAW wafat dan menjadikan mereka sebagai sebaik-baik umat dan memimpin peradaban dunia hingga runtuh pada 1924 atas konspirasi Barat.
Agenda Utama Umat
Selain merupakan kewajiban dan konsekuensi iman, upaya menegakkan kembali Khilafah sejatinya merupakan sebuah kebutuhan mendesak bagi umat Islam. Upaya ini harus menjadi visi seluruh pergerakan Islam dan umat Islam yang ada di seluruh dunia karena Khilafah merupakan solusi tuntas atas seluruh persoalan di negeri-negeri Islam, bahkan seluruh dunia, termasuk persoalan Palestina.
Betapa tidak? Khilafah adalah satu-satunya institusi penegak syariat kaffah yang diturunkan Allah Taala sebagai tuntunan sekaligus problem solver bagi seluruh masalah kehidupan. Syariat Islam menjadikan negara dan penguasanya berfungsi sebagai pengurus dan penjaga, menghapus kezaliman, mengharamkan tunduk pada penjajah, dan mensyariatkan jihad fi sabilillah. Khilafah akan menyatukan umat Islam di bawah satu kepemimpinan, memobilisasi seluruh potensi yang dimilikinya, mulai dari SDA, SDM, termasuk tentaranya untuk mewujudkan keadilan bagi semua.
Tentu saja mewujudkan Khilafah tidak semudah membalik telapak tangan. Terlebih kehadirannya di masa depan telah menjadi mimpi buruk bagi penguasa negara-negara adidaya dan para anteknya. Ini karena Khilafah akan menggantikan kepemimpinan mereka yang destruktif dengan kepemimpinan yang menebarkan rahmat.
Itulah sebabnya, menghalangi kemunculan Khilafah menjadi salah satu agenda utama mereka. Negara-negara adidaya bahkan memaksa seluruh negara di dunia untuk turut menyukseskan proyek tersebut atasnama perang global melawan terorisme dan radikalisme di negeri-negeri Islam. Mereka menggunakan berbagai cara, baik melalui tekanan ekonomi, politik, bahkan militer untuk mencapai tujuan.
Hanya saja, setiap upaya mereka dipastikan akan berujung pada kegagalan. Allah Swt. berfirman, “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS Ash-Shaff: 8).
Sungguh, kembalinya Khilafah adalah janji Allah sekaligus kabar gembira dari Rasulullah SAW. Tugas kita hanyalah menjalankan kaidah sababiyah dengan jalan menapaki jalan dakwah sebagaimana dicontohkan baginda Rasulullah SAW. Itulah dakwah yang bersifat fikriyyah (membangun kesadaran terhadap Islam kafah), politik ideologis (mengarah pada penerapan secara ril dalam bentuk kepemimpinan Islam), berjemaah, dan laa madiyyah (berdakwah tanpa kekerasan).
Wallahu'alam bisshawab.
Tags
Opini
