By :Ummu Aqsha
Kementerian Agama menggelar 350 ribu khataman Al-Qur'an pada 16 Ramadan 1446 Hijriah. Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan turut ikut serta dalam peringatan Nuzul Quran ini.
Program bertajuk Indonesia Khataman Al-Qur'an di Sulsel dipusatkan di Aula Kantor Wilayah Kemenag Sulsel Makassar. Program ini diharapkan mampu menguatkan semangat keislaman dan kebangsaan serta mengajak umat muslim untuk mencintai, memahami, dan meneladani Al-Qur'an.
Saat Nuzulul Quran ini kita membaca, menerjemahkan, sampai memahami Al-Qur'an. Itu kita bumikan dalam kehidupan kita sehari-hari apa yang kita dapatkan dari Al-Qur'an," ucap Kakanwil Kemenag Sulsel, Ali Yafid kepada Metro TV, Minggu, 16 Maret 2025.
Sayangnya, seruan itu kerap kali sebatas jargon semata. Mencintai Al-Qur’an hanya dimaknai mengajak lekat secara fisik, seperti mengajak gemar tilawah dan menghafal ayat-ayatnya. Adapun terkait isinya, justru sering kali diabaikan. Kalaupun ada yang mengajak kembali kepada Al-Qur’an, maka itu dimaknai secara artifisial.
Kembali kepada Al-Qur’an juga direduksi sekadar dengan seruan untuk mengambil ayat-ayat yang berbicara soal akhlak dan moral. Padahal, Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Menerapkannya menjadi jaminan terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan dipenuhi keberkahan.metrotvnews.com(16 /03/2025).
Umat Mencapakan Isi Al Qur'an
Sejak runtuhnya sistem kepemimpinan Islam yang disebut Khilafah pada 1924 silam, umat Islam tidak lagi hidup di bawah cahaya Al-Qur’an. Para pemimpin mereka memilih tunduk pada kaum kafir penjajah, lalu bermimpi bisa membawa umat pada kemuliaan dengan menenggak racun sekularisme yang menafikan peran Tuhan dalam kehidupan.
Mereka dengan sadar mencampakkan isi Al-Qur’an, meski mengaku masih memegang iman Islam. Sementara itu, seruan-seruan untuk menerapkan Al-Qur’an sebagai undang-undang dipandang sebagai kemunduran, bahkan kejahatan yang tidak termaafkan. Selain dituduh membawa kehancuran, para penyeru penerapan Al-Qur’an juga kerap disebut radikal.
Saat ini, lebih dari 100 tahun mereka melewati Ramadan ke Ramadan. Namun, spirit Al-Qur’an yang turun saat Ramadan tidak juga menggerakkan mereka untuk segera menerapkannya dalam kehidupan. Padahal, mereka percaya bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, dan membacanya juga bernilai ibadah serta mendatangkan kebaikan.
Sepanjang waktu itu, tidak terhitung berapa kali mereka mengkhatamkan Al-Qur’an. Bahkan, Al-Qur’an biasa mereka pakai saat upacara sumpah jabatan. Namun sayang, mereka malah abai terhadap ayat perintah dan larangan. Mereka abai terhadap ayat-ayat ancaman atas perilaku meninggalkan Al-Qur’an.
Mereka tampak lebih percaya pada pemikiran manusia yang lemah dalam membuat undang-undang. Tidak peduli atas peringatan yang begitu mengerikan dari Allah Swt.
Sistem Demokrasi kapitalisme menjadikan akal manusia sebagai sumber aturan,padahal manusia adalah mahluk yang lemah sehingga berpitensi adanya pertentangan dan berkonsekuensi lahirnya berbagai permasalahan.
Al Qur'an seharusnya menjadi landasan setiap individu,masyarakat dan negara,namun hari ini justru individu yang berpegang pada Al Qur'an dan menyerukan untuk kembali kepada Al Qur'an di anggap radikal.
Wajar jika kehidupan umat Islam benar-benar menyedihkan. Secara politik, mereka kehilangan sumber kebangkitan yang sebelumnya membuat mereka tampil sebagai negara besar. Spirit perjuangan mereka melemah, bahkan berubah dari sebaik-baik umat menjadi umat yang rela terpecah belah dan terjajah.
Dalam sistem ini,prinsip kedaulatan di tangan rakyat menjadikan manusia penentu hukum berdasarkan hawa nafsu dan kepentinganya berpegang pada Al Qur'an,sejatinya konsekuensi keimanan dan harusnya terwujud pada diri setiap muslim.
Apalagi jika ingin membangun peradaban manusia yang mulia.
Al Qur'an harus menjadi asas kehidupan.
Namun hari ini Al Qur'an diabaikan meski peringatan nuzulul Qur'an setiap tahun di adakan,bahkan oleh negara.
Secara ekonomi, kekayaan mereka yang melimpah-limpah dijarah, baik oleh kafir penjajah maupun oleh kekuatan oligarki yang dari hari ke hari makin mencengkeram semua lini. Mereka berkongsi dengan para penguasa yang rela menjadi pengkhianat atas rakyat demi jabatan dan kursi. Sampai-sampai kehidupan mayoritas mereka pun seperti tikus mati di lumbung padi.
Dalam bidang sosial, kehidupan masyarakat makin jauh dari nilai-nilai kebaikan. Moralitas generasi makin jatuh hingga titik terendah. Kekerasan hingga pembunuhan, korupsi, seks bebas, penyimpangan perilaku, bullying, premanisme.
Pada bidang hukum, kondisinya pun tidak kalah rusaknya. Undang-undang dibuat sesuai kepentingan sekelompok orang. Mafia peradilan ada di mana-mana dan kekuatan uang sedemikian mencengkeram. Alhasil, alih-alih mengeliminasi kejahatan, hukum yang ada justru bisa diperjualbelikan dan rakyat jelata tidak bisa berharap mendapat keadilan.
Saatnya Umat Mengembalikan
Al Qur'an Sebagai UU
Saat ini kita sudah kembali melewati pertengahan Ramadan. Sudah saatnya kita serius bermuhasabah tentang kondisi umat sekaligus merefleksi apa yang akan terjadi pada masa mendatang. Jangan sampai melewati lagi kesempatan Ramadan, sedangkan kita tercatat sebagai umat yang mewariskan keburukan.
Setiap kita tentu berharap ibadah yang dilakukan saat Ramadan —termasuk ibadah puasa—akan mengantarkan pada tujuan pensyariatan, yakni diraihnya derajat takwa. Sementara itu, salah satu ciri takwa adalah siap menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk kehidupan, lantaran mereka beriman bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang tidak mengandung keraguan.
Oleh karenanya, mereka yang bertakwa tentu tidak akan senang jika Al-Qur’an sekadar dibaca dan dikhatamkan. Mereka akan berjuang agar Al-Qur’an bisa benar-benar diterapkan dalam kehidupan. Tentu bukan hanya untuk kehidupan pribadi semata, tetapi diterapkan dalam skala masyarakat, bahkan hingga negara.
Sejatinya pula, ayat-ayat dalam Al-Qur’an tidak hanya berbicara soal urusan individu, melainkan juga mengatur urusan komunal, mulai dari keluarga, masyarakat, hingga negara. Al-Qur’an mengandung hukum soal ibadah, akhlak, makanan dan minuman yang individual, tetapi juga mengatur soal pembagian peran dan fungsi laki-laki dan perempuan dalam keluarga.
Selain itu, Al-Qur’an pun mengatur masalah interaksi dalam masyarakat, seperti urusan muamalah dan sanksi, yang dalam penerapannya perlu support system dari negara. Bahkan, negaralah yang pada akhirnya menjadi satu-satunya institusi yang bisa menerapkan seluruh hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an.
Sungguh, Al-Qur’an adalah petunjuk jalan kebenaran sekaligus solusi atas seluruh problem kehidupan. Tidak akan sesat jika mengikutinya, bahkan akan mengantarkan pada kebahagiaan dan mengundang keberkahan Allah Swt.
Mewujudkan Al-Qur’an menjadi undang-undang tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Di tengah umat harus tumbuh kesadaran bahwa terikat dengan Al-Qur’an adalah konsekuensi iman sekaligus manifestasi ketakwaan. Terlebih proyek penyesatan dan gempuran serangan pemikiran sudah sedemikian dahsyat sehingga umat sulit membedakan mana kebenaran, mana kebatilan.
Proses penyadaran ini hanya bisa dilakukan melalui aktivitas dakwah pemikiran bersama jemaah ideologis yang lurus dan konsisten memperjuangkan Islam sesuai thariqah kenabian. Targetnya adalah, tentu menyampaikan isi petunjuk Al-Qur’an serta sunah Rasulullah ﷺ yang sahih hingga umat tergerak untuk menerapkan dan terwujud kekuasaan Islam (Khilafah) tanpa kekerasan.
Tidak hanya itu, jemaah dakwah tersebut juga melakukan pergolakan pemikiran, mengadopsi kemaslahatan umat, serta membongkar setiap makar musuh Islam. Di antaranya membongkar hakikat berbagai narasi pemikiran dan gagasan yang akan merusak Islam, termasuk upaya-upaya mengaburkan tafsir Al-Qur’an.
Sungguh, umat semestinya kuat keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah tuntunan dan undang-undang hidup sepanjang zaman. Kemuliaan mereka hanya ada pada aturan Islam yang sempurna ditegakkan, sebagaimana Allah Taala berfirman, “Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Wallahualam bissawab.
Tags
Opini
