By :Ummu Aqsha
Ribuan massa aksi demonstrasi yang menolak RUU Pilkada terlibat bentrokan dengan tim gabungan TNI-POLRI di depan gedung DPR RI, Senayan Jakarta pada Kamis (22/8/2024).
Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi, bentrokan antara massa demonstran dengan aparat terjadi sekitar pukul 16.40 WIB sesaat ketika salah satu pagar kompleks DPR RI di Jalan Gatot Subroto berhasil dijebol.
Setelah tembok dijebol, massa mulai melempari polisi dengan batu, kemudian dibalas dengan satu kali tembakan gas air mata oleh tim gabungan TNI/Polri. Kericuhan itu diawali dengan massa aksi yang merangsak maju mendekati gerbang utama kompleks parlemen DPR RI.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat beberapa kasus tindakan represif aparat keamanan ketika aksi mahasiswa Kawal Putusan MK di beberapa daerah. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mengungkapkan, ada puluhan tindakan represif, intimidasi, sampai kekerasan terhadap massa aksi. Ia juga menyoroti kasus represif pihak kepolisian yang terjadi di Semarang, Makassar, Bandung, dan Jakarta.
Isnur menyampaikan, sampai Kamis malam, 22 Agustus 2024, lembaganya menerima laporan sebelas massa aksi terkonfirmasi ditangkap kepolisian. Satu orang lainnya mendapatkan doxing.
"Pengaduan yang masuk di TAUD (Tim Advokasi untuk Demokrasi) hingga pukul 21.30 (22 Agustus 2024) ada 26 laporan," kata Isnur, pada (23-8-2024)
Isnur menguraikan, puluhan laporan tersebut berupa tindakan kekerasan, doxing, sampai penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian. Bahkan, terdapat ratusan massa aksi justru ditangkap ketika sedang menuju lokasi aksi. Tindakan represif ini merupakan pelanggaran hukum, tindak pidana, dan melanggar peraturan internal Kapolri. Isnur menyebutkan, dalam peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan saat situasi kerumunan massa aksi tidak terkendali.
Melihat banyaknya tindakan represif dalam aksi mahasiswa mengawal Putusan MK, Guru Besar Universitas Gadjah Mada atau UGM Prof. Koentjoro melihat kepolisian yang tersebar di beberapa daerah tidak kompak menjalankan tugasnya.
'Polisi tidak kompak karena setiap daerah itu berbeda. Sebab, di Yogyakarta, Suwondo Nainggolan, Kapolda Yogyakarta turun dan berdialog bersama massa sehingga bisa mengendalikan aksi,” kata Koentjoro kepada (Tempo.co, pada 24-8-2024.)
Koentjoro mengingatkan tugas polisi untuk mengayomi masyarakat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Ia juga menekankan, polisi perlu menjalankan tugas sesuai aturan hukum yang berlaku, baik kepada masyarakat sipil maupun pejabat publik, termasuk presiden.
“Kita harus mengingatkan kepada polisi bahwa Jokowi dapat dibela, jika menjalankan fungsi sebagai presiden dengan benar. Namun, polisi harus menolak (mengayomi), jika Jokowi menjalankan dan menyalahgunakan fungsi sebagai ayah Gibran dan Kaesang,” ujarnya
Koentjoro melihat, setiap manusia memiliki multiperan dalam kehidupan sehari-hari. Polisi juga dapat menjalankan perannya dalam setiap aspek sehingga tidak dicampuradukkan dengan hal lain.
Koentjoro juga menyampaikan, jika polisi tidak dapat berperilaku sesuai peran, akan sama seperti DPR. Sebab, DPR berperan sebagai wakil rakyat. Namun, saat ini, DPR sudah merusak kepercayaan rakyat yang menganulir Putusan MK terkait Pilkada. Dengan demikian, Koentjoro menekankan, polisi harus selalu berpihak pada kebenaran sehingga dapat berperan melindungi dan mengayomi masyarakat.
Brutalnya Perilaku Aparat
Menanggapi perilaku aparat dalam sejumlah aksi unjuk rasa peringatandarurat di berbagai kota hari ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:
“Satu kata, brutal. Pengamanan yang semula kondusif, berujung brutal. Dan fatalnya, ini bukan pertama kali. Aparat yang brutal tersebut seolah tidak mau belajar dari sejarah, bahwa penggunaan kekuatan eksesif telah merenggut hak asasi manusia, dari hak untuk berkumpul damai, hingga hak untuk hidup, tidak disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi. Mereka bukan kriminal, tapi warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Bahkan jika melanggar hukum pun, tidak boleh diperlakukan dengan tindakan brutal.
“Perilaku aparat yang brutal adalah bukti gagalnya mereka menyadari bahwa siapapun berhak untuk memprotes melalui unjuk rasa. Berhak untuk menggugat, tidak setuju atau beroposisi. Dan semua ini dilindungi oleh hukum nasional maupun internasional.
Penggunaan kekuatan yang eksesif seperti kekerasan, peluru karet, gas air mata, kanon air maupun tongkat pemukul, tidak diperlukan sepanjang tidak ada ancaman nyata. Itu harus dipertanggungjawabkan.
“Negara harus mengusut dan menindak semua pelakunya, sampai tuntas. Jangan ada lagi korban yang jatuh.
“Presiden dan DPR RI harus belajar menghormati hak warga negara untuk dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Ini adalah penyebab utama mengapa mahasiswa dan masyarakat terpaksa turun ke jalan. Dan mereka harus belajar menghormati kemerdekaan tiap-tiap orang untuk menyampaikan pendapat, termasuk yang anti pemerintah sekalipun. Semua brutalitas aparat menunjukkan bahwa janji bersikap profesional dan menjadi pengayom, seperti kerap dinyatakan Kapolri tidak terbukti dalam kasus perlakuan yang brutal.
Sudah saatnya Indonesia meninggalkan perilaku kekerasan yang tidak perlu, menghentikan rantai impunitas dengan memproses hukum aparat keamanan yang terlibat secara terbuka, independen dan seadil-adilnya.”
Kekerasan yang dilakukan oleh aparat jelas bertentangan dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum mengatur kewajiban dan tanggung jawab polisi untuk melindungi HAM dan juga menghargai prinsip praduga tidak bersalah.
Fakta Buruknya Demokrasi
Umat berunjuk rasa karena adanya pelanggaran yang di lakukan oleh negara,karena negara telah semena mena kepada masyarakat yang seharusnya negara, terutama pihak aparat untuk melindungi dan mengayomi masyarakat dan mirisnya aparat bersikap brutal ,anarkis dan justru menyemprotkan gas air mata dan melakukan tindakan represif lain nya kepada masyarakat terutama kepada mahasiswa dan pelajar. Dengan aksi mahasiswa dan para pelajar turun ke jalan yang membawa aspirasi masyarakat ini adalah yang menjadi salah satu cara untuk pemerintah agar peka dan sadar terhadap apa yang di inginkan masyarakat.
Hal ini menunjukan sejatinya Demokrasi tidak memberi ruang kepada rakyat akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat dan seharusnya Negara memberi ruang dialog ,menerima utusan dan tidak mengabaikanya. Dan juga Sistem Demokrasi merupakan sistem yang sangat rentan ditunggangi sekelompok elit politik termasuk di dalamnya adalah dinasti politik beserta jaringan oligarkinya. Akibatnya berbagai kebijakan polotik sekedar menjadi instrumen bagi kepentingan dinasti dan oligarkinya.
Sistem demokrasi yaitu sistem rusak dan merusak buktinya peristiwa di MK pun akhirnya mengingatkan bagaimana rezim jokowi dengan semena mena mengubah berbagai aturan seperti revisi UU KPK, UU minerba,UU cipta kerja, UU kesehatan dan pembentukan beberapa peraturan Pemerintah pengganti UU yang sebenarnya tidak tampak adanya kepentingan. Semua dalam rangka memenuhi kepentingan pihak pihak tertentu yang dekat dengan kekuasaan. Jika sebelum nya perubahan itu berlangsung di DPR,tapi kali ini MK membuat norma baru yang bukan wewenang mereka.
Dalam sistem Islam
Dalam sistem Islam, menjadi kewajiban setiap muslim untuk melakukan muhasabah lil hukkam yaitu mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan. Selain itu kaum muslim juga berhak mengadakan syura dan menyampaikan pendapat. Semua aktivitas tersebut diwakili oleh Majelis Umat. Para anggota Majelis Umat inilah yang bertugas melakukan muhasabah dan syura. Ini lah salah satu mekanisme untuk menjaga pemerintah agar tetap berada di jalan Allah SWT,dan juga lembaga Majelis Ummah dan Qodli Madzalim.
Majelis Ummah dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat memiliki hak berbicara dan menyampaikan pendapat sesukanya serta mengoreksi Khalifah dan para pejabat negara lainnya tanpa suatu pencekalan ataupun keberatan. Khalifah beserta jajaran penguasa di bawahnya, wajib memberikan jawaban kepada Majelis Umat selama anggota majelis ini terikat dengan hukum syariah dalam melakukan tugasnya. “Hendaklah ada diantara kalian sekelompok orang yang menyerukan al Khayr (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar” (QS. Ali-Imran [3]: 104).
Tugas dan fungsi Qâdhî Madzalim adalah menghentikan kezaliman yang dilakukan oleh negara kepada rakyat. Jika ini terkait dengan kebijakan, maka Qâdhî Madzalim akan membatalkan kebijakan tersebut, seperti pajak, retribusi tol, dan sebagainya. Jika ini terkait dengan sikap atau tindakan semena-mena, maka Qâdhî Madzalim juga akan menghentikan sikap dan tindakan tersebut. Qâdhî Madzalim berhak memberhentikan pejabat, pegawai negara, bahkan khalifah jika harus diberhentikan, sebagaimana ketentuan hukum syara’. Termasuk, jika pengangkatan khalifah dianggap tidak sah, maka Qâdhî Madzalim bisa menghentikannya.
Islam menjadikan amar makruf nahi mungkar sebagai kewajiban individu, kelompok dan masyarakat.
Amar ma'ruf nahi munkar juga menjadi bentuk misi dan dakwah, karena menyerukan berbuat kebaikan sekaligus untuk memperluas ajaran Islam.
pada Surat Ali Imran ayat 104. Allah SWT berfirman:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Artinya:
"Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung."
(QS. Al imron :104).
Penguasa juga memahami tujuan adanya muhasabah yaitu tetap tegaknya aturan Allah di muka bumi sehingga terwujud negara yang Baldatun Thayyibatun wa rabbun ghafur.
Wallahu 'alam bishshawab.
Tags
Opini
