Oleh: Julia Ummu Adiva
Seperti dikutip dari kompas.com, 30/08/2024 bahwa ada sepasang kekasih yang melakukan aborsi di Pegadungan, Kalideres. Diketahui tersangka telah mengandung delapan bulan sejak bulan Januari, motif ia menggugurkan kandungannya dikarenakan telah menjalin hubungan gelap karena diketahui bahwa sang kekasihnya sudah memiliki istri. Kemudian untuk menggugurkan kandungannya ia membeli obat di toko daring, lalu meminumnya hingga akhirnya mengeluarkan sang bayi yang sudah meninggal dunia.
Datang lagi berita dari detik.sulsel, 02/09/2024 seorang
Mahasiswi di Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng), ditangkap polisi karena telah menggugurkan kandungannya yang sudah berusia 8 bulan. Ia mengkonsumsi 10 butir obat penggugur kandungan yang dibeli pacarnya. Kemudian mereka menginap di sebuah wisma, lalu merencanakan untuk menggugurkan kandungan tersebut, kemudian setelah mengkonsumsi obat penggugur kandungan pelaku merasakan sakit perut hebat hingga akhirnya melahirkan dengan memotong tali pusar tidak sesuai standar kesehatan dan dibungkamnya mulut sang bayi hingga akhirnya sang bayi tak bernyawa.
Berikut potret kasus yang terekam tindak kejahatannya, namun diluar sana tentu banyak sederet kasus yang sama. Sungguh memilukan dan membuat hati meringis membaca berita yang notabennya mereka masih muda yang dengan beraninya bertingkah laku sesuai kehendaknya.
Ditambah hal ini didukung dengan disahkannya peraturan pemerintah oleh
Presiden Jokowi dalam PP 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU 17/2023). Tepat pada Jumat, 26-07-2024. PP tersebut di antaranya mengatur tentang ketentuan dan syarat aborsi di Indonesia agar mencegah praktik aborsi ilegal. Secara khusus dalam Pasal 116 disebutkan bahwa aborsi merupakan tindakan yang dilarang dan tidak boleh dilakukan kecuali atas indikasi kedaruratan medis. Selain itu, aborsi juga hanya boleh dilakukan pada korban tindak pidana pemerkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan.
Aborsi merupakan tindakan menggugurkan janin di dalam kandungan. Setiap tindakan aborsi tentu akan berisiko bagi perempuan yang menjalaninya, bahkan bisa sampai menghilangkan nyawanya jika terjadi perdarahan dan infeksi. Ini masih belum termasuk risiko nonmedis. Namun, jika kita cermati lebih mendalam, legalisasi aborsi bagi korban rudapaksa (pemerkosaan) hanya akan menambah beban korban. Sudahlah si korban hamil dengan menanggung malu dan trauma, jika akhirnya memilih mengaborsi janinnya, ia harus menanggung beban hukum karena menghilangkan nyawa si janin. Inilah beban ganda yang harus ditanggung korban.
Maraknya kasus pemerkosaan di negeri ini menegaskan bahwa sedang terjadi krisis keamanan bagi kaum perempuan. Di satu sisi, kaum perempuan dibebaskan untuk berekspresi dan bertingkah laku yang jauh dari rem syariat. Berbagai celah kebangkitan syahwat juga dibuka lebar melalui liberalisasi konten media yang bahkan kehadirannya bisa diakses langsung melalui ponsel pintar milik tiap individu.
Menurut Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, beliau mengatakan dalam peringatan Hari Keluarga Nasional ke-30 di Palembang 5 Juli 2023 lalu menyatakan bahwa saat ini rata- rata pertama kali anak-anak berhubungan seks pada usia 15—16 tahun. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa banyak remaja yang berzina yang menjadi suatu paradoks dalam masyarakat kita.
Sungguh seks bebas akut dinegeri ini merupakan buah dari diterapkannya sistem kapitalisme yang berasas sekulerisme yaitu memisahkan aturan agama dari kehidupan. Hukum syara bukan menjadi standar dalam beraktivitas. Semua disandarkan kepada hak asasi manusia, yang bermakna menuruti hawa nafsunya.
Gencarnya kampanye “hak reproduksi” yang di gaungkan WHO ke negara-negara, termasuk Indonesia yang para pejuang feminisme mendorong mereka siapa saja, termasuk remaja untuk melakukan hubungan seksual jika menginginkannya, meski belum terikat dalam tali pernikahan. Sungguh nyatalah kampanye dunia ini justru melegalisasi perzinaan. Tentu ini menjerumuskan remaja dalam jurang kenistaan, yang tidak saja berisiko terjadinya masalah kesehatan seperti infeksi menular seksual, tingginya angka stunting, gangguan organ reproduksi hingga gangguan mental bahkan kematian, tetapi juga siksa pedih di akhirat kelak.
Parahnya lagi, kampanye tersebut juga mendorong negara untuk mewujudkan aborsi aman, yaitu aborsi yang memenuhi syarat keamanan prosedur medis yang dilegalkan oleh negara.
Ditambah lagi tidak adanya sanksi yang membuat efek jera bagi pelaku, hingga menyebabkan aborsi makin sering terjadi seiring dengan makin bebasnya pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Ditambah lagi sistem pendidikan saat ini sangat jauh dari Islam, kurikulum yang dipakai tidak sesuai dengan aqidah Islam hingga output yang dihasilkan pun bermental rapuh dan tak berakhlak mulia.
Berbeda dengan Islam yang memancarkan cahaya dalam sendi kehidupan dengan menjadikan individu, masyarakat selalu terikat dengan syariat Islam dan negara memberlakukan hukum Islam secara kaffah.
Terdapat suatu kisah yang menceritakan Maiz bin Malik yang minta disucikan lantaran berzina. Rasulullah saw. pun menunaikan sanksinya dengan merajam Maiz bin Malik. Demikian pula kisah seorang perempuan dari Al-Ghamidiyah yang juga datang pada Rasulullah minta disucikan. Selepas masa penyusuan anaknya, Rasulullah saw. pun menyucikannya.
Dengan demikian, hukum yang diterapkan di dalam Islam akan menjadi jawabir dan jawazir bagi pelaku. Hanya dengan Islam aqidah umat akan terjaga, terutama akan memberantas aborsi dengan tuntas karena masyarakat terjaga kemuliaannya dalam aturan yang sempurna penuh ketaatan pada Rabbnya dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyyah.
Wallahu-a'lam bish-shawab[].
Tags
Opini
