Oleh: Hamnah B. Lin
Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) tahun ini, PBB mengambil tema “Berinvestasi pada Perempuan: Memperkuat Kemajuan”. Badan perdamaian dunia itu mengharapkan perempuan bisa membantu mewujudkan kesejahteraan dunia. Menurut data Bank Dunia, pada akhir 2022, 49,68% penduduk dunia atau 3,95 miliar jiwa merupakan perempuan. Oleh karena itu, PBB menilai investasi pada perempuan dapat memacu perubahan serta mempercepat transisi dunia yang lebih sehat, aman, dan setara bagi semua orang.
Lembaga PBB untuk kesetaraan gender, UN Women, menulis dalam webnya (4-3-2024) bahwa dunia membutuhkan dana 360 miliar dolar AS per tahun (utamanya negara berkembang). Dana itu untuk pembiayaan kesetaraan gender yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGDs).
Bagi UN Women, menghilangkan kesenjangan kesetaraan gender dalam lapangan kerja dapat meningkatkan PDB per kapita 20%. Jenis pekerjaan yang dapat menyerap tenaga perempuan adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Namun, secara global, UMKM masih kekurangan dana 1,7 triliun dolar AS. Oleh karena itu, perlu adanya investasi dalam bidang ini untuk menghapus kesenjangan kredit agar pendapatan bisa meningkat 12% pada 2030.
Masih menurut UN Women, berinvestasi pada perempuan bisa dilakukan dengan memberikan kebebasan akses terhadap tanah (kepemilikan); dunia kerja; partisipasinya dalam sains, teknologi, dan teknik; serta menghargai pekerjaan perawatan oleh perempuan. Upaya ini akan membuka 300 juta lapangan pekerjaan baru. (Kompas, 4-3-2024).
Hari ini opini yang bergulir adalah bahwa kesuksesan perempuan ditentukan karena suksesnya dia dalam dunia kerja, memperoleh gaji sendiri, mampu berdikari sendiri, memiliki suami yang bergelar. Bahkan ada standart kesuksesan perempuan diukur dari sisi fisiknya, kulit putih bersih, langsing dilengkapi dandanan pastinya.
Segala usaha yang dilakukan untuk memajukan perempuan nyatanya bertujuan untuk meningkatkan perekonomian. Perempuan menjadi alat untuk mendapatkan pundi-pundi uang. Mereka akan menjadi berharga ketika mampu menghasilkan. Inilah standart kapitalis yang hari ini Indonesia dan dunia menjalankannya.
Standart ini akan sangat berbahaya bagi perempuan sendiri, sebab tugas utama dia adalah menjadi ibu dan pengurus rumahnya, menjadi pendidik generasinya, akan terlalaikan atau teralihkan kepada orang lain yang sebenarnya itu tidaklah tepat. Perempuan pekerja juga akan banyak kehilangan waktu untuk bisa bersama suami, hingga keharmonisan akan makin menipis, akhirnya perceraian menjadi solusi. Anak - anak sebagai generasi penerus tak pelak juga minim didikan, nasehat ataupun contoh dari sosok ibu. Akhirnya banyak generasi hari ini, menjadi generasi strawbery yang mudah rapuh, menjadi generasi lemah.
Perempuan memiliki nilai ekonomi tinggi, sangat rugi jika dilewatkan oleh para kapitalis. Perempuan cenderung lebih terampil dan cakap dalam mempromosikan berbagai produk daripada laki-laki. Bahkan, perempuan dianggap merupakan pekerja yang mau diupah rendah.
Dalam pandangan kapitalisme, masyarakat yang ideal adalah para ibu bekerja di luar dan menitipkan anak-anak mereka di tempat penitipan. Asisten rumah tangga pun mengambil peran keibuan dan pengelola rumah tangga. Alhasil, hancurlah masa depan generasi.
Dari sisi negara, negara memiliki pandangan bahwa perempuan sebagai aset untuk meningkatkan perekonomian merupakan hasil dari sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme, hal yang paling utama adalah materi/ekonomi (asasnya materialisme). Jadi, kebijakan apa pun yang diambil akan mengacu pada peningkatan perekonomian.
Kesetaraan gender yang selama ini didengungkan nyatanya merupakan kamuflase dengan iming-iming agar perempuan tidak lagi menjadi “makhluk kedua” di dunia. Kapitalisme akhirnya mendorong mereka mau berpartisipasi dalam kemajuan dan ekonomi. Apalagi saat perekonomian sulit seperti sekarang, perempuan menjadi sasaran empuk untuk menggerakkan ekonomi dunia. Inilah jebakan kapitalisme.
Sangat berbeda jauh dalam Islam, bahwa perempuan mulia bukan karena hasil materi yang diperoleh dari bekerja. Namun Islam memandang perempuan dengan kemuliannya, karena terlaksananya seluruh kewajibannya, yakni menjadi muslimah negarawan yang memiliki misi menjadi intelek peradaban, menjadi penggerak opini dan menjadi ibu generasi penakluk. Yakni rajin menuntut ilmu hingga sekuat tenaga, juga menjadi penggerak opini Islam Kaffah baik lewat dunia maya dan nyata, kemudian menjadi ibu generasi penakluk yang mampu mendorong anak- anaknya sebagai generasi muslih yang bercita -cita memperbaiki umat dari segala kerusakan dengan penerapan Islam Kaffah. Inilah profil ibu generasi penakluk.
Tak cukup itu, ibu generasi penakluk ternyata membutuhkan sebuah atmosfir yang melingkupinya supaya suport dari segala arah didapatkan. Utamanya masyarakat dan negara yang memiliki satu pemikiran, perasaan dan aturan dalam bingkai Negara Khilafah. Inilah sebuah sistem pemerintahan yang telah Allah syariatkan untuk manusia seluruh dunia.
Wallahu a'lam.
