Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Pemilu sudah berlalu, namun ternyata masih menyisakan kisah pilu, terutama dari para caleg yang gagal meraih suara kemenangan. Masih saja ada yang menarik kembali apa yang sudah diberikan kepada warga.
Sebagaimana yang terjadi di pemukiman warga Cisitu, Kelurahan Suralaya, Cilegon. Tiba-tiba aliran air ke permukiman tersebut diputus oleh Sumedi Madasik setelah Pemilu 2024. Rupanya, aliran air untuk warga itu diputus oleh Sumedi yang merupakan caleg PKS untuk DPRD Cilegon, karena kalah pada Pemilu 2024 (detikNews.com,15/3/2024).
Ternyata pula, bukan hanya karena kekalahannya di pemilu, sehingga ia tega memutuskan aliran air tersebut, melainkan ia sudah besar pasak daripada tiang. Selama lima tahun, dirinya mensubsidi warga untuk kebutuhan listrik pompa air tersebut. Tiap bulan, kata dia, uang yang terkumpul dari warga berkisar Rp 1,5-2 juta per bulan. Sementara, biaya listrik dari pompa air yang mengaliri warga tersebut mencapai Rp 4-4,5 juta.
Sumedi mengaku, kurang lebih empat tahun dia sudah membantu masyarakat tersebut dengan mengalirkan air bersih dari sumur bor pribadi. Sejak 2019 pada bulan Maret, mulai dialirkan dengan jaraknya dari titik sumur bor 2 km ke masyarakat, kebetulan posisinya nanjak, sehingga menggunakan pompa satelit 5 PK dengan tegangan 35 Volt.
Untung Tak Dapat Diraih, Malang Tak Dapat Ditolak
Kiranya pepatah ini yang bisa menggambarkan nasib Sumedi. Kebaikannya tak pernah berbalas kebaikan pula. Masyarakat yang ia harapkan membalas kebaikannya ternyata di luar dugaan. Bagaimana bisa bisa berbalas jika rakyat pun sebenarnya kesulitan?
Air adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dari sifatnya ini, maka air menjadi kepemilikan umum, dimana setiap individu masyarakat berhak memanfaatkannya, jika tidak mudah mengaksesnya sehingga langka, maka akan menimbulkan mudarat.
Semestinya memang bukan individu rakyat yang mengupayakan tersedianya air bersih dan layak, melainkan negara. Dengan dana dan tenaga ahli yang dimilikinya, negara bisa membangun saluran air yang dibutuhkan masyarakat tersebut.
Namun, inilah faktanya sistem kapitalisme yang diterapkan sebagai aturan yang mengatur kebutuhan masyarakat. Tidak setiap wilayah di negeri ini mudah mendapatkan air meskipun Indonesia masuk dalam negara dengan iklim tropis, sehingga kekayaan hayatinya berlimpah dan persediaan air pun tak berkurang.
Negara meminimalisir perannya, sebab secara teori kapitalis, para pengusahalah yang seharusnya mengeksplore kekayaan alam ini. Pemerintah cukup menyediakan payung hukum, sama persis dengan perkataan salah satu pengusaha kaya di negeri ini yang mengatakan “saya tidak butuh uang, tapi kekuasaan”.
Sebab dengan kekuasaan ia bebas melakukan apapun. Pucuk dicinta ulam pun tiba, karpet merah selalu tergelar panjang di negeri ini dan menyisakan penderitaan bagi rakyat. Banyak dari proyek pembangunan yang digagas pemerintah, samasekali tidak ada efeknya bagi kesejahteraan rakyat.
Masalah penyediaan air bersih ini saja, di beberapa wilayah di Indonesia diprakarsai perusahaan air minum asing. Ada juga yang diinisiasi LSM yang berafiliasi dengan negara asing. Baik pendanaan maupun tenaga ahli.
Padahal skema yang demikian sangat rentan dengan penjajahan. Sumedi termasuk dalam mereka yang terjebak sistem. Kapitalisme memang meniscayakan tak ada makan siang gratis, bantuan pun harus ada imbal baliknya.
Namun patut disyukuri, kegagalannya menjadikannya tidak berlarut-larut menyakiti hati rakyat, sebab gagal saja tega memutus aliran air, bagaimana jika benar ia bisa lolos sebagai anggota dewan? Pastilah semena-mena.
Kekuasaan di alam kapitalisme memang bak madu, menjanjikan segala kebaikan hidup. Sejahtera, banyak uang, terpandang dan yang pasti tidak akan sesengsara rakyat. Padahal kekuasaan adalah amanah, namun kapitalisme menggeser maknanya menjadi jalan lain mencari nafkah.
Mental para pencari kekuasaan inipun tak sekuat baja, mereka hanya berpikir menang sementara jika kalah mereka tak siap menerima. Padahal sebuah keniscayaan dalam setiap kontestasi ada menang dan kalah.
Islam Jaminan Sejahtera
Islam memandang kekuasaan adalah amanah, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,”Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.” (Riwayat Muslim).
Oleh karena itu seorang pemimpin dalam Islam wajib berbekal hukum syara. Sebab hanya dengan itu keadilan bisa diterapkan. Pemimpin adalah pelayan umat, ia menjadi orang yang paling lapar saat rakyatnya kenyang. Ia mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingannya sendiri.
Termasuk pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, maka itu pun ada ditangan penguasa, dalam hal ini negara. Bukan kemudian dilimpahkan kepada pihak ketiga atau para pengusaha asing maupun lokal. Jika demikian yang terjadi, sama saja pemerintah sedang berbisnis dengan rakyatnya, sebab konsekwensi rakyat harus membayar mahal.
Dan jika pun ada di tangan para calon pemimpin hanya menjadi alat kampanye yang jika gagal akan ditarik. Maka, tak ada jalan lain kecuali mencabut kapitalisme dan menggantinya dengan syariat Islam. Wallahu a’lam bissawab.
