Oleh : Miranda Anugrah Usman (mahasiswi Universitas Haluoleo)
Dalam rangka penataan administrasi dan mengurangi antrean di rumah sakit (RS), serta memudahkan pelayanan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-KIS), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai memberlakukan rujukan online (daring) secara bertahap. "Sistem rujukan secara online itu dari fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP) ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) atau RS," kata Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Primer, Dwi Martiningsih, dalam diskusi bertajuk Rujukan Zaman Now, di Jakarta, Selasa (26/6) (Media indonesia, 29/9/2018)
Perbaikan Teknis Semakin Menyulitkan Rakyat
Tentu saja kebijakan baru yang digarang oleh BPJS ini menuai pro-kontra, dimana ada pihak-pihak yang mendukung dijalankannya program rujukan online ini karena katanya dapat mempermudah urusan masyarakat dalam hal fasilitas kesehatan. Tetapi disisi lain banyak ditemukan warga yang mengeluh dengan adanya kebijakan baru ini, karena dianggap bahwa hal ini malah mempersulit masyarakat yang akan melakukan pemeriksaan kesehatan di rumah sakit terdekat.
Ketua Persi Jatim Dodo Anondo, mengatakan, peraturan baru ini nantinya akan menambah sulit masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatannya. "Saya menduga akan banyak antrean di berbagai tempat pelayanan kesehatan," katanya. (24/9) Berdasarkan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Tahun 2018, rujukan berobat harus melalui rumah sakit tipe D sebelum ke tipe C, B dan A. Padahal sebelumnya masyarakat bisa memilih rumah sakit rujukan yang dekat dengan tempat tinggalnya. "Dengan adanya mekanisme baru ini membuat pasien harus menempuh rujukan yang panjang. Ini seperti model layanan kesehatan model shopping," ujar Dodo (Tempo.co,24/9/2018)
Mekanisme baru ini, menurut Dodo, tidak hanya berdampak kepada pasien peserta BPJS Kesehatan, melainkan juga terhadap rumah sakit. "Pasien di rumah sakit tipe D dan C akan membludak. Sedangkan di tipe B ini akan kekurangan pasien," ujarnya. Dodo menjelaskan, kalau sudah begitu akan berpengaruh pada operasional, obat akan banyak yang tidak terpakai. Parahnya lagi pihak distributor obat akan mengunci pasokan obat. "Kondisi ini akan mengancam keberlangsungan operasional rumah sakit. Kalau rumah sakit itu milik pemerintah tidak akan terlalu berdampak. Tapi kebanyakan rumah sakit tipe B itu milik swasta, " ujarnya. Lebih jauh, Dodo menyayangkan aturan baru oleh BPJS yang diberlakukan dengan cepat tanpa sosialisasi dan simulasi. Apalagi aturan ini menabrak peraturan menteri kesehatan. "Seharusnya semua stakeholder bisa berjalan beriringan supaya tidak menyulitkan masyarakat," katanya (Tempo.co,24/9/2018).
Salah satu contoh belum efektifnya program rujukan online ini terjadi di RS.Bahteramas, kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Dimana sejak diberlakukannya program rujukan online ini pada tanggal 15 Agustus yang lalu, RSUD tersebut telah mendapat banyak komplain karna dianggap menolak melayani pasien rujukan pemegang kartu BPJS kesehatan dengan alasan bahwa surat rujukan yang mereka bawa tidak tercatat dalam aplikasi (Kendari Pos, 22/9/2018).
Belum sempurnanya program baru ini, tentu membuat banyak kalangan ingin mengkaji lebih jauh apakah benar program ini di buat untuk memudahkan masyarakat kecil dalam menggapai fasilitas kesehatan,ataukah malah sebaliknya. Karena seperti yang kita lihat dilapangan bahwa fasilitas kesehatan ini layaknya sesuatu yang sangat sulit didapat, terlebih untuk masyarakat golongan kebawah. Adanya tumpang tindih antara kebijakan Pusat dengan kebijakan yang terjadi di Daerah ini menjadi gambaran bahwa belum terealisasinya program ini dengan baik.
Kapitalisme Sumber Masalah
Sebenarnya, masalah teknis tentang program rujukan online ini hanyalah hasil dari penerapan sistem kapitalisme yang selalu mengutamakan materi diatas segalanya. Dimana dalam penerapan sistem ini, pemberian fasilitas kesehatan kepada masyarakatpun harus melalui tahapan yang sangat rumit padahal masyarakat tidak memperoleh fasilitas kesehatan tersebut secara cuma-cuma, melainkan dengan membayar iuran perbulannya yang saat ini telah diwajibkan pembayarannya oleh pemerintah atau para pemberi kerja.
Padahal seharusnya fasilitas kesehatan ini tidak boleh dijadikan sebagai sesuatu yang berbau transaksional, mengingat bahwa Negaralah yang seharusnya menjamin fasilitas kesehatan masyarakatnya. Sehingga dalam hal ini Negara atau pemerintah dituntut agar dapat menjadi pelayan masyarakat dalam segala aspek kehidupan tak terkecuali dalam pemberian fasilitas kesehatan yang memadai.
Tetapi faktanya, pemerintah belum mampu menjadi pelayan yang baik untuk rakyatnya, karena masih menjadikan fasilitas umum khususnya kesehatan sebagai sesuatu yang berorientasi pada materi. Masyarakat belum dapat merasakan sepenuhnya fasilitas kesehatan gratis yang selalu digadang-gadang oleh para calon pemimpin di Negeri ini.
Sistem Islam Solusi Mendasar Pelayanan Kesehatan Masa Kini
Peristiwa mengenai pemberian fasilitas kesehatan berbayar yang terjadi di Negeri kita, sangat berbanding terbalik dengan yang terjadi pada masa kejayaan Islam. Pada masa diterapkannya sistem dan aturan sang Khaliq di muka bumi-Nya saat itu, aturan kesehatannya mencakup seluruh manusia, baik itu kaya maupun miskin. Karena kaum muslimin berpegang teguh pada akhlak dan kemanusiaan dalam kontribusi pengobatan orang yang sakit, siapapun mereka.
Disebutkan oleh Az-Zahrani dalam “nizham Al-Wafq” halaman.248 bahwa orang pertama yang membangun Bimaristan (Rumah Sakit untuk orang-orang yang menderita penyakit) adalah seorang khalifah dari Bani Umayyah, dia adalah Al-Walid bin Abdul Malik. Dia membangun sebuah Bimaristan di Damaskus dan kemudian ia dermakan untuk orang-orang yang sakit. Sang khalifah tersebut sangat memberikan perhatian khusus kepada para penderita kusta dan melarang mereka untuk meminta-minta. Ia juga mewakafkan sebuah bangunan untuk tempat tinggal mereka dan memberikan subsidi rutin kepada mereka. Disamping itu ia juga memerintahkan agar setiap orang yang cacat diberikan seorang pembantu dan untuk orang yang buta diberi seorang penunjuk jalan (dikutip dari keterangan Ibnu Al-Atsir dalam kitabnya Al-Kamil fi At-Tarikh 2/353, maktabah syamilah)
Sejarah mencatat bahwa rumah sakit pada masa kejayaan Islam sangat memiliki fasilitas yang luar biasa dan yang paling penting adalah gratis, baik untuk orang miskin maupun kaya. Salah satunya adalah Rumah Sakit Al-‘Adhudi di Baghdad yang dibangun pada tahun 366 H/ 976 M. Dimana rumah sakit ini memberikan pengobatan gratis bagi seluruh warga, seorang pasien mendapatkan perawatan yang sangat memuaskan, baik dari segi pemberian pakaian yang baru dan bersih, makanan lezat dan bergizi yang beraneka ragam, maupun obat-obatan yang harus dikonsumsi. Dan setelah pasien sembuh, ia diberi biaya untuk perjalanan pulang sampai tiba di rumahnya. Saking luar biasanya pelayanan yang diberikan pada masa itu, tak sedikit didapati masyarakat yang berpura-pura sakit hanya untuk merasakan fasilitas mewah tersebut.
Sangat terlihat jelaslah perbedaan antara pemberian fasilitas kesehatan pada masa kini yang mewajibkan setiap masyarakat dapat mebiayai sendiri kesehatannya, dengan masa kejayaan Islam yang memberikan kesehatan dengan fasilitas yang sangat mewah dan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun,bahkan pihak Negaralah yang memberikan uang kepada masyarakatnya yang baru sembuh tersebut yang tentu semua sumber pendanaan fasilitas kesehatan ini adalah berasal dari kas Negara.
Dengan demikian apabila sistem dan aturan sang pencipta yang digunakan dimuka bumi ini, maka tidak kita dapati lagi sistem administrasi berbayar untuk kesehatan ditambah dengan sistem administrasi yang sangat menyusahkan ummat. Sehingga kesejahteraan benar-benar berada ditangan rakyat, seperti yang telah dibuktikan oleh sejarah selama kurang lebih 13 abad lamanya.Wallahu’alam bi ash-shawab []